Jakarta, Gatra.com - Hipertensi merupakan salah satu penyakit peryerta (komorbid) berbahaya bagi pasien coronavirus disease 2019 (Covid)-19. Indonesian Society of Hypertension (InaSH) atau Perhimpunan Dokter Hipertensi (PERHI) di Hari Hipertensi se-Dunia mengimbau masyarakat memeriksakan tekanan darah secara teratur.
President InaSH atau PERHI, dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH, FINASIM, di Jakarta, Minggu (17/5), menyampaikan, masyarakat diimbau untuk menjaga tekanan darah dengan cara memantaunya secara teratur, khususnya di masa pandemi Covid-19 ini.
"Dalam masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, kami menghimbau agar masyarakat lebih peduli untuk secara teratur melakukan PTDR," katanya.
Kemudian, apabila pada pasien hipertensi muncul gejala awal Covid-19, seperti meningkatnya suhu tubuh, sesak napas, batuk kering dan sebagainya, segera berkonsultasi kepada dokter.
Menjaga tekanan darah ini untuk menghindari komplikasi yang dapat membuat cacat dan kematian agar dapat dicegah sedini mungkin. Pedoman American Heart Association (AHA) mencatat bahwa orang dengan tekanan darah tinggi bisa jadi akan menghadapi risiko komplikasi lebih parah jika mereka terinfeksi virus Covid-19.
Data temuan pasien Covid-19 yang meninggal di Indonesia juga menunjukkan mereka paling banyak mengidap penyakit hipertensi dengan komorbiditas penyakit kronis lainnya seperti penyakit jantung, ginjal, diabetes hingga stroke.
Namun sayangnya, lanjut Tunggul, sampai saat ini kepedulian terhadap hipertensi dan kesadaran akan pencegahan sekaligus pengobatannya di Indonesia masih rendah. Sebagian besar penderita hipertensi tidak menyadari bahwa dirinya telah menderita hipertensi sehingga tidak mendapatkan pengobatan.
Riskesdas tahun 2018 mencatat sebanyak 63 juta orang atau sebesar 34,1% penduduk di Indonesia menderita hipertensi. Dari populasi hipertensi tersebut, hanya sebesar 8,8% terdiagnosis hipertensi dan hanya 54,4% dari yang terdiagnosis hipertensi rutin minum obat.
"Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang mengakibatkan meningkatnya angka kesakitan dan kematian serta beban biaya kesehatan," katanya.
Menurut Tunggul, hipertensi tidak bergejala (silent killer) dan merusak organ-organ penting, antara lain otak, jantung, ginjal, pembuluh darah besar sampai ke pembuluh darah kecil.
Pada Annual Meeting ke-13 Februari tahun 2019 yang lalu, PERHI meluncurkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi yang menggarisbawahi bahwa diagnosis hipertensi sangat ditentukan oleh Man, Material, Method (3M), yaitu dokter dan pasien, alat pengukur, dan pengukurannya, termasuk persiapannya.
Pemeriksaan Tekanan Darah di Rumah (PTDR) berperan cukup penting untuk deteksi, diagnosis dan evaluasi terapi yang efektif serta bermanfaat memberikan gambaran variabilitas tekanan darah.
"Terdapat kasus khusus, yaitu pada pasien yang diagnosis hipertensinya ‘meragukan’ misalnya pre hypertension atau border-line hypertension, white-coat hypertension (tekanan darah tinggi bila diukur di klinik) atau masked hypertension (tekanan darah justru tinggi bila di luar klinik atau di rumah)," ujarnya.
Data penelitian PERHI tahun 2017 menunjukkan bahwa 63% pasien yang sedang diobati hipertensi tidak terkontrol. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien hipertensi tidak terobati secara optimal oleh berbagai faktor.
PTDR juga dapat meningkatkan tingkat kepatuhan pasien. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa PTDR mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan tekanan darah di klinik.
Data survei PERHI yang dilakukan pada dokter-dokter menunjukkan bahwa sebagian besar dokter (95%) sudah menganjurkan PTDR, namun tidak ada keseragaman dalam metode pengukuran maupun frekuensi pengukuran tekanan darah.
"Dalam Buku Pedoman PTDR dijelaskan lebih rinci tentang PTDR untuk diagnosis hipertensi, cara menggunakan PTDR untuk pasien, frekuensi pemantauan dan target pengendalian tekanan darah," ujarnya dalam keterangan pers.
Sedangkan soal isu bahwa ada obat antihipetensi golongan tertentu yang dianggap memperburuk keadaan pasien-pasien positif Covid-19 yang mengidap hipetesi, menurut Tunggul, ini belum mempuyai bukti.
"Hal tersebut tidak mempunyai bukti-bukti yang cukup sehingga [obat tersebut] tetap harus diberikan," katanya.