Semarang, Gatra.com - Memprihatinkan, kata yang disandang saat menyebut maestro seniman tradisional legendaris asal Semarang Ki Nartosabdo. Nama kesohornya di pentas tembang dan pedalangan Jawa dan nasional belum sepadan dengan penghargaan yang semestinya dia sandang.
Padahal, laku dan tembang dan gaya mendalang Ki Nartosabdo menjadi pakem para dalang dalam mementaskan wayang kulit oleh dalang dari masa ke masa.
Mirisnya, hanya ada satu apresiasi yang disandang Ki Nartosabdo untuk mengingat jasa dan perannya sebagai penjaga dalam melestarikan seni pedalangan dan pewayangan, sebuah gedung seni di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), bernama Gedung Seni Ki Nartosabdo.
"Jasa beliau besar dalam melestarikan seni dalang dan wayang. Semua dalang memakai pakem Ki Nartosabdo," kata seniman tradisional Semarang, Yoyok Bambang Priyambodo, kepada Gatra.com, Minggu (17/5).
Menurut Yoyok, pekem Ki Nartosabdo bisa dibilang paling komplit dalam dunia pedalangan wayang kulit. Memiliki gaya sendiri yang dikenal gaya Semarangan, dia juga kerap mengkombinasikan gaya pedalangan Surakarta dan Yogyakarta. Gaya Bali, Kedu, Jawa Timur juga dia sajikan dalam pertunjukannya.
Untuk mengingatkan kembali jasa sang dalang, Yoyok mempersembahkan sebuah karya bertajuk gelar karya tari Tembang Semarangan Ki Narto Sabdo Kamurkan-Kamulyan. Karya tersebut dia pentaskan secara daring melalui media sosial YouTube.
"Pentas tari itu juga dalam rangka menyambut Hari Tari Dunia April lalu, sebagai pengingat kita punya maestro seniman legenda Ki Nartosabdo," katanya.
Dalam penyajiannya, Yoyok didukung dua anaknya Sangghita Anjali dan Canadian Mahendra, menari sekaligus sebagai penabuh gamelan. Dilengkapi dengan sinden dan niyaga, pentas daring dihelat selama 30 menitan.
Layaknya kebiasaan Ki Nartosabdo dalam mendalang, Yoyok mengawali sajian tarinya dengan figur wayang kulit raksasa, gunungan dan Puntadewa.
Lambang Kamurkan dimunculkan sebuah sosok manusia bertabiat buto atau raksasa yang seram dan menakutkan. Apapun dia makan, semua yang ada ingin dikuasainya, meskipun bukan hak dan miliknya. Sementara lambang Kamulyan diwujudkan sosok Puntadewa yang mengajak kepada kebaikan.
"Penggalan itu mengartikan manusia dalam menjalani kehidupan janganlah murka, berbuat dan berperilakulah yang baik untuk menuju ke surga," jelas Yoyok.
Dari gaya tembang, gending, cerita. Beberapa tokoh berhasil ditelorkan, seperti Didik Nini Thowok. Maestro tari itu mengawali karier tarinya melalui karya tangan dingin Ki Nartosabdo, dia menari diiringi gending berjudul Nini Thowok, pemberian Ki Nartosabdo. Nama itu melekat sampai sekarang pada seorang Didik Nini Thowok.
"Termasuk Gending Pangpung Ki Nartosabdo kini menjadi bahan ajar kepada mahasiswa di Institut Seni Indonesia Surakarta," beber pengasuh Sanggar Greget Semarang.
Dari laku gelar persembahan karya tari itu, Yoyok menyebut sebagai pentas pemaknaaan dan penghargaan kepada maestro Ki Nartosabdo atas jasa dan karyanya.
"Kalau hanya gedung seni yang ada itu malah miris ya, seperti tidak terawat. Harusnya pwmerintah serius dalam mengenang penghargaan kepada beliau," katanya.
Maka, tak berlebihan, Yoyok mengusulkan jika nama besar Ki Nartosabdo bisa saja diabadikan menjadi salah satu nama jalan protokol atau jalan raya di Kota Semarang, Jalan Ki Nartosabdo.
"Itu kekayaan lokal, pemerintah bisa mengusulkan nama Jalan Ki Nartosabdo untuk menghargai jasa beliau sebagai seniman asli Kota Semarang," pungkasnya.