Home Hukum Aroma Tak Sedap PSR Riau, Oknum Kepala BRK Mengaku Diancam

Aroma Tak Sedap PSR Riau, Oknum Kepala BRK Mengaku Diancam

Pekanbaru, Gatra.com - Belakangan Badraini benar-benar pusing, bukan lantaran kredit macet yang tiba-tiba nongol akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Kepala Cabang Pembantu (Capem) Bank Riau Kepri (BRK) Sei Pakning Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis, Riau, ini kelenger ulah ancaman oknum perusahaan rekanan sejumlah petani yang sedang menjalani program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

"Enggak hanya diancam, saya malah diberitakan di sejumlah media online dengan bahasa macam-macam. Bahkan untuk menakut-nakuti, oknum itu bilang kalau dia timnya Jokowi lah, orang dekatnya Jenderal (Purn) Moeldoko lah. Padahal kami murni menjalankan aturan bank. Sebab kalau sempat ada yang salah, kami yang akan bermasalah dengan hukum," Badraini mengeluh, saat berbincang dengan Gatra.com, Sabtu (16/5).

Pada 17 April 2020 lalu kata Badraini, dana PSR dicairkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ke BRK Capem Sei Pakning. Kebetulan, untuk PSR di Riau, bank milik Pemerintah Provinsi Riau ini ditunjuk oleh BPDPKS sebagai salah satu bank penyalur.

Dana cair, BRK kemudian mengumpulkan para ketua kelompok tani swadaya mandiri peserta PSR itu untuk rapat. "Ini memang murni petani swadaya, jadi administrasinya harus kami kawal jangan sampai ada yang salah, beda dengan petani plasma yang administrasinya sudah dikawal perusahaan inti yang membina kelompok tani," katanya.

Pada pertemuan itu, "Gimana kalau habis lebaran saja kita mulai pekerjaan. Lagi situasi Covid 19 pula. Meski pekerjaan dimulai habis lebaran, kita studi banding dululah ke Baganbatu --- Kabupaten Rokan Hilir --- yang sudah duluan PSR. Termasuk juga kita belajar ke BRK yang sudah jalan PSR nya, biar nambah ilmu kita. Soal biaya ke sana, biar BRK yang menanggung," Badraini menyodorkan usul dan saat itu, para ketua kelompok tani setuju.

Sepekan kemudian, keanehan muncul, kelompok tani datang menyodorkan pencairan down payment sebesar 50 persen untuk belanja bibit siap tanam. "Di sinilah kami baru tahu kalau kelompok tani diam-diam sudah menjalin kerjasama dengan oknum perusahaan tadi. Alasan permintaan dana 50 persen itu untuk membeli bibit. Padahal saat kami cek ke lapangan, pekerjaan sama sekali belum mulai. Batang kelapa sawit yang mau di-replanting pun masih tegak meski tidak banyak lagi lantaran sudah banyak mati dan rusak," cerita Badraini.

Uniknya lagi kata Badraini, pembelian bibit di-sub-kan ke perusahaan lain --- masih satu group dengan oknum perusahaan rekanan. "Duit diminta ditransfer ke perusahaan rekanan, bukan ke perusahaan penyedia bibit. Setelah kami cek lagi, ternyata harga bibit dalam MoU antara kelompok tani dan perusahaan rekanan Rp49 ribu. Sementara harga normal hanya Rp38 ribu. Bibit yang akan dibayar sebanyak 32 ribu batang," rinci Badraini.

Menengok banyak yang janggal itulah makanya BRK kata Badraini menunda untuk membayarkan permintaan uang itu, “Ini untuk kebaikan semua pihak, khususnya kelompok-kelompok tani tadi. Tapi gara-gara penundaan itu pulalah oknum perusahaan rekanan marah-marah dan kemudian saya diserang di banyak media online," katanya.

Di BRK Capem Sei Pakning kata Badraini, ada 11 kelompok tani swadaya penerima dana PSR. Total luas lahan kelompok tani ini mencapai 324 hektar.

Dosen Pertanian Universitas Riau, Dr. M. Amrul Khoiri hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar keluhan Badraini tadi. "Saya sudah mendata PSR yang ada di Riau ini sejak tahun lalu. Ini tugas saya sebagai peneliti. Hasilnya, PSR di Riau ternyata dikerjakan oleh perusahaan rekanan yang itu ke itu saja, hal yang sama juga terjadi di Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar) dan beberapa provinsi lain,” katanya kepada Gatra.com, Sabtu (16/5).

Bagi lelaki jati Rokan Hilir ini, ulah perusahaan semacam tadi sama saja dengan monopoli. Kalaulah satu perusahaan kata Amrul menangani banyak PSR, perlu dipertanyakan spesifikasi perusahaan rekanan PSR itu seperti apa. Apa iya sanggup mengerjakan sekaligus? Kualitas pekerjaannya seperti apa? Sebab ini menyangkut ketersediaan tenaga ahli terkait agronomis, hama dan tanah.

Apakah fasilitas mekanisasi seperti alat berat rekanan itu mencukupi? “Lantaran ini pekerjaan replanting, semua bidang ilmu harus ada di perusahaan rekanan PSR, sebab program ini ada juga kaitannya dengan Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang kelak akan diurus oleh kelompok tani. Jadi, ini juga menjadi masukan ke BPDPKS, seperti apa standar perusahaan rekanan yang boleh menggarap PSR itu" katanya.

Dan kalau kayak begini ceritanya, “Saya akan minta tim BPDPKS mengusut. Saya mendukung apa yang sudah dilakukan oleh BRK Capem Sei Pakning itu, itu namanya prinsip kehati-hatian," ujar lelaki yang juga Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.

Presiden Jokowi kata Amrul, sudah mewanti-wanti supaya PSR benar-benar dijalankan dengan baik, lantaran proyek ini adalah kepentingan rakyat yang notabene petani.

Gubernur Riau, Syamsuar, pun selalu mewanti-wanti supaya PSR di Riau jangan sampai cacat. "Sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, Riau musti memberikan contoh terbaik," Begitulah mantan Bupati Siak itu berpesan.

"Soal bibit, pengadaannya super ketat. Enggak boleh yang beli bibit Si A, tapi yang memakai si B, ini sudah dipertegas dalam Pedum PSR Nasional, semua harus berasal dari Produsen resmi yang sudah di SK kan oleh Kementan. Itulah makanya, urusan bibit, petani yang langsung berhubungan dengan produsen bibit. Si produsenlah nanti yang menentukan apakah dikirim langsung atau dari penangkar resmi yang ditunjuk produsen dan benih itu harus sudah disertifikasi oleh Balai Benih setempat. Biar bibit benar-benar terjamin F1 Tennera dan harganya tidak dimain-mainkan," ujar Amrul.

Masalah anggaran biaya persatuan hektar juga kata Amrul menjadi fokus perhatian mereka agar tidak memberatkan petani, sebab kekurangan dari Rp25 juta per hektar --- bantuan BPDPKS --- itu harus dihutang petani ke bank mitra PSR. “Misalnya kalau total biaya PSR per hektarnya Rp55 juta, maka kekurangannya yang Rp 30 juta harus dihutang petani ke bank mitra PSR. Jadi semakin berhemat RAB PSR, dengan tanpa mengurangi faktor Good Agriculture Practise (GAP), maka semakin sedikit hutang petani di bank,” terangnya.

Petani yang ada di Sei Pakning itu kata Amrul adalah petani swadaya murni pertama di Riau yang mendapat PSR, “Jadi harus kita kawal supaya bisa menjadi penyemangat bagi petani swadaya lain,” katanya.

Di sisi lain, anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo yang membidangi hukum, DR. M. Nurul Huda, SH.,MH mengingatkan supaya BRK Capem Sei Pakning tidak main-main soal program PSR yang ada.

"Saya minta pencairan dana oleh perusahaan rekanan PSR tidak dipersulit. Kalau ada dokumen pencairan yang kurang atau kejanggalan permohonan pencairan uang, segera disampaikan ke pendamping kelompok tani supaya dicrosscheck. Yang pasti saya setuju dan mendorong BRK supaya selalu hati-hati, bersikap adil dan terbuka," pinta Nurul.

Nurul memastikan, pihaknya akan menempuh upaya hukum jika benar ada kejanggalan dan cenderung merugikan petani sawit peserta PSR. "Kami tidak melihat sepihak, Apkasindo berdiri di tengah, semua pekerjaan PSR, khususnya di Riau, akan kami audit secara internal dulu,” tegasnya.

Di Apkasindo kata Nurul ada 8 orang yang sudah bersertifikat Auditor ISPO, jika ada temuan pidana, tentu sebagai Dewan Pakar Bidang Hukum dan Advokasi, “Saya merekomendasikan kepada Ketua Umum DPP Apkasindo segera membentuk tim investigasi untuk melihat dan menghitung potensi kerugian materil yang akan dan sudah terjadi di wilayah BRK Capem Sei Pakning itu," pintanya.


Abdul Aziz

 

 

3616