Solo, Gatra.com – Kebijakan Presiden Joko Widodo dengan mengeluarkan Perpres nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dinilai tidak tepat. Pasalnya Mahkamah Agung telah menganulir pasal 34 pada Perpres nomor 75 tahun 2019 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
”Perpres baru ini bisa dikatakan mengabaikan putusan MA,” ucap Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Pujiyono, Sabtu (16/5).
Menurutnya jika aturan tersebut dianulir namun dibuat lagi dengan angka berbeda, sama saja pemerintah mengakali putusan MA. Padahal fokus aturan tersebut dianulir bukan karena besarannya. Namun dianggap tidak tepat dan tidak sesuai dengan tuntutan rasa keadilan pada masyarakat.
Baca juga: Legislator PDIP Tolak Kenaikan Tarif Iuran BPJS
Kebijakan yang diambil Presiden Joko Widodo ini dinilai tidak tepat. Sebab kondisi ekonomi sedang buruk karena adanya wabah covid-19. ”Sehingga dengan adanya kebijakan menaikkan tarif iuran BPJS ini jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat,” ucapnya.
Menurutnya jika problemnya defisit BPJS, ada dua solusi yang bisa ditempuh pemerintah. Pertama dengan memperbaiki manajemen kelembagaan di dalam BPJS Kesehatan yang dinilai tidak efisien, kedua kebijakan anggaran yang tidak fokus bisa diperbaiki.
”Misalnya kartu prakerja yang tidak efektif dan efisien bisa dievaluasi, serta anggaran infrastruktur yang bisa dialihkan dulu untuk menutup defisit BPJS,” ujarnya.
Disamping itu yang perlu disoroti yakni mengenai keteladanan. Sebagai negara hukum, harus ada kepatuhan pada hukum itu sendiri. Apalagi putusan MA merupakan produk hukum yang harus dipatuhi. ”Bukan malah diakali,” katanya.