Jakarta, Gatra.com - Langkah Presiden Joko Widodo menaikkan iuran BPJS Kesehatan menuai kontroversi. Namun, pengamat intelijen senior Suhendra Hadikuntono minta publik jangan memojokkan Jokowi. Ia justru menilai para pembantunya yang salah memberikan masukan ke Jokowi.
"Bila memang harus ada yang disalahkan, salahkanlah para pembisiknya. Jangan pojokkan Presiden yang saat ini sedang fokus terhadap banyak hal," ujar Suhendra Hadikuntono, melalui rilis yang diterima Gatra, Jumat (15/5).
Pria yang juga CEO Hadiekuntono’s Institute ini menilai, sebelum memutuskan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Presiden Jokowi bak menghadapi buah simalakama. Jika dinaikkan akan membebani rakyat yang saat ini ekonominya terpuruk akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19, tapi bila tidak dinaikkan maka keberlangsungan BPSJ Kesehatan terancam bahkan bisa bangkrut, sehingga rakyat pula yang akan menanggung akibatnya.
"Di tengah dilema itu, Presiden memang harus cepat mengambil sikap.Nah, saya melihat banyak pihak yang tidak punya kapasitas keilmuan, namun ingin berebut peran empati. Akibatnya fatal. Pak Jokowi itu punya komitmen dan jujur dalam membangun bangsa. Tolong jangan ditarik ke sana kemari. Drama ini seolah-olah mempertontonkan sisi kelemahan Presiden dalam hal ketatanegaraan.Selain itu, menunjukkan kelemahan komunikasi antara komponen eksekutif dan yudikatif," kata Suhendra.
Padahal, jelas Suhendra, solusinya sederhana, yakni Presiden Jokowi bisa mengundang Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Prof Dr Supandi untuk mendiskusikan hal ini. "Saya jamin Prof Supandi bersedia, karena beliau tokoh hukum yang humanis, sederhana dan paling senior di lingkungan MA. Jadi, sekali lagi, jangan pojokkan Presiden Jokowi," tegasnya.
"Saya yakin jika kedua tokoh ini bertemu, maka selesai itu barang," tambahnya.
Tak lupa, Suhendra pun mengusulkan jalan tengah, yakni kenaikan iuran BPJS Kesehatan hanya menyangkut Kelas I dan Kelas II, sedangkan Kelas III tidak naik.
"Analogi sederhananya, yang dinaikkan Kelas I dan Kelas II. Untuk Kelas III, yang kerja hari ini untuk makan hari ini, tidak dinaikkan. Yang Kelas I dan Kelas II kalau dinaikkan masih bisa bernapas. Kalau Kelas III dinaikkan, langsung mati, enggak ada untuk dimakan," tandasnya.
Sebelumnya, melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang diteken pada Selasa (5/5/2020), Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan mulai berlaku per 1 Juli 2020.
Rinciannya, iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp 150.000 dari Rp 80.000, Kelas II naik menjadi Rp 100.000 dari Rp 51.000, dan Kelas III naik menjadi Rp 42.000 dari Rp 25.500.
Namun pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 untuk Kelas III sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021 subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7000, sehingga yang harus dibayarkan peserta Kelas III adalah Rp 35.000.
Pada Oktober 2019, Presiden Jokowi juga menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, Majelis Hakim Agung MA yang diketuai Prof Dr Supandi membatalkan kenaikan tersebut pada akhir Februari 2020 melalui putusan bernomor 7/P/HUM/2020.
Gugatan diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Kini, KPCDI berencana kembali mengajukan gugatan uji materi terhadap aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu ke MA.