Jakarta, Gatra.com – Sejumlah indikator titik panas atau hotspot telah terlihat di wilayah Pulau Sumatera dan sebagian Pulau Kalimantan pada pertengahan Maret 2020. Kondisi tersebut perlu diantisipasi dengan baik agar pada puncak musim kemarau (Juni-September 2020) tidak terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara masif.
Upaya preventif penting dilakukan mengingat sejumlah model prediksi iklim mengindikasikan akan terjadi ENSO pada skala netral menuju El Nino lemah hingga pengujung 2020. Melihat kondisi tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan kementerian dan lembaga termasuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berencana menerapkan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di wilayah Pulau Sumatera, khususnya Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.
Kepala BPPT, Hammam Riza mengatakan bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan akan diterapkan untuk mengantisipasi bencana karhutla. Teknologi tersebut, terang Hammam, memiliki beberapa fungsi yakni memindahkan curah hujan untuk mengantisipasi banjir serta dapat diterapkan pula untuk mencegah karhutla, seperti yang terjadi di Riau.
“Harapan saya sebelum terjadinya hotspot (titik panas) yang sulit terkendali di Provinsi Riau, TMC sudah dilaksanakan. Melalui teknologi ini, awan hujan akan diturunkan pada titik-titik panas itu untuk menghindari meluasnya karhutla.TMC akan menambah volume air hujan sehingga akan membasahi lahan-lahan gambut dan hutan di sana, sekaligus mengurangi potensi munculnya titik api,” ujar Hammam dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Rabu (13/5).
Dirinya menjelaskan karhutla merupakan bencana yang terjadi saban tahun di sebagian wilayah Indonesia. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara lainnya. Sehingga menurutnya perlu sinergi semua pihak untuk mencegah bencana karhutla meluas.
Sebagai upaya membangun Indonesia sebagai negara tangguh bencana, dirinya berharap pemanfaatan TMC dapat didukung semua pihak sehingga tercapai solusi yang optimal untuk mencegah karhutla. “Kami usulkan pemanfaatan TMC ini dapat dioptimalkan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya karhutla di seluruh wilayah provinsi rawan karhutla,” katanya.
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan bahwa BPPT saat ini tengah mengembangkan sistem kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang nanti akan mampu memberikan prediksi pemodelan terhadap potensi karhutla di sejumlah wilayah rawan bencana khususnya di Sumatera dan Kalimantan.
Dalam pengembangannya, BPPT bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mendapatkan sejumlah data cuaca dan data tinggi muka air gambut yang dijadikan masukan untuk indeks bahaya karhutla di sejumlah wilayah.
“BPPT memerlukan dukungan dari sejumlah pihak untuk terus memperkuat TMC agar dapat lebih bernilai manfaat dan berdaya guna untuk masyarakat luas, serta dapat berfungsi sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, perlu dibentuk ekosistem TMC agar kemajuan teknologi ini bisa semakin diakselerasi,” ucap Hammam.
Untuk diketahui, Inpres Nomor 03 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan mengamanatkan kepada Kepala BPPT untuk melaksanakan operasi TMC dan pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa bakar untuk mendukung penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Pelaksanaan operasi TMC di Provinsi Riau dan Jambi dimulai pada 11 Mei 2020 dan didukung oleh 1 unit pesawat CASA 212-200 TNI-AU dengan Posko di Lanud Roesmin Noerjadin, Pekanbaru. Untuk membantu pengamatan cuaca dan kondisi awan di wilayah target, BPPT bekerja sama dengan BMKG memanfaatkan data radar cuaca Stasiun Meteorologi Pekanbaru dan Jambi.