Jambi, Gatra.com - Bantuan sosial dampak pandemi Covid-19 yang diberikan ke seluruh lapisan masyarakat, berpotensi dimanfaatkan oleh kepala kepala daerah (petahana) yang kembali mencalonkan diri, untuk menggalang dukungan.
Hal itu dingkapkan oleh Anggota Bawaslu Provinsi Jambi Wein Arifin saat disikusi daring dengan tema Politisasi Bantuan Sosial Covid-19, melalui aplikasi ZOOM dan disiarkan secara langsung melalui Youtube Humas Bawaslu Provinsi Jambi, Selasa (12/5) dari pukul 13.00 WIB hingga pukul 15.15 WIB. Dalam diskusi itu diikuti ratusan peserta dari jajaran Bawaslu, penggiat pemilu, pers dan masyarakat umum.
Diskusi daring di hadiri narasumber Dr.Ratna Dewi Pettalolo (Anggota Bawaslu RI), Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah (Direktur Netgrit), Dr. Helmi (Dekan Fakultas Hukum Unja), Dr. Khairul Fahmi (Pusako Unand), dan H.M. Subhan, S.Ag., M.H (Ketua KPU Provinsi Jambi), yang dipandu oleh Moderator Wein Arifin , S.IP., M.IP (Anggota Bawaslu Provinsi Jambi).
Wein Arifin mengatakan, mengatakan, pandemi Covid-19 berakibat tertundanya tahapan Pemilihan tahun 2020, dengan terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2020, sebagai dampak dari wabah virus korona, yang memakan korban jiwa.
"Kondisi ini menimbulkan dampak , salah satunya adalah begitu banyak bantuan sosial yang diberikan keseluruh lapisan masyarakat, yang pemberiannya bisa disinyalir menjadi modus bagi Kepala Daerah (petahana) untuk melakukan tindakan yang menguntungkan, sebagaimana dalam Pasal 71 (3) UU Nomor 10 Tahun 2016," kata Wein Arifin, Selasa (12/5).
Mantan Ketua KPU Kota Jambi ini memaparkan, menyikapi pandemi ini di tengah tahun politik, Bawaslu saat ini mengeluarkan surat himbauan terkait pencegahan politisasi dari dana bantuan sosial, serta memberikan beberapa solusi kepada pemerintah, sebagai upaya pencegahan, sebagaimana menjadi tugas dan tanggung jawab Bawaslu
"Jadi ada beberapa solusi yang bisa dilakukan adalah pertama adalah meminta ketegasan Mendagri untuk menerapkan Ketentuan Pasal 76 UU Nomor 9 Tahun 2015; kedua mendorong percepatan penerbitan PKPU Tahapan pasca terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2020; ketiga adalah meminta kepada Gubernur Se-Indonesia untuk mengeluarkan Surat Edaran tentang larangan politisasi Bansos; dan meminta kepada KPK untuk melakukan pengawasan terhadap Bansos; dan melakukan Pendidikan Politik kepada Pemilih," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Netgrid Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, bantuan sosial bagi warga yang terdampak pandemi Covid-19 berpotensi abuse of power dari kepala daerah untuk dipolitisasi demi kepentingan Pilkada.
Maka Netgrid merekemondasikan beberapa hal, pertama adanya aturan/regulasi yang rigit dengan sanksi yang tegas, kemudian perlunya pengawasan dari Bawaslu yang optimal, rekruitmen Parpol dengan merit system, transparan dan partisipatif.
"Kemudian pentingnya pengaturan dana kampanye, transparansi dan akuntabilitas dalam Pemilu, persaingan yang fairantar Peserta Pemilu, Pendidikan Politik Masyarakat, penyelanggara Pemilu yang berintegritas, Independen dan Profesional, serta penegakan Hukum Pemilu itu sendiri," katanya.
Sementara itu, menurut Dr. Khairul Fahmi dari Pusako Unand yang memberikan pendapat Hukum terkait Ketentuan Pasal 71 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, dalam pengaturan UU Pilkada lebih lemah dibanding dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu).
Dimana dalam norma tersebut perlu diperhatikan mengenai subjek yakni gubernur, bupati, wali kota, dan pasangan calon yang akan mendapatkan manfaat atau yang dirugikan, sebagaiman disebutkan dalam Pasal 71 ayat 3.
Dalam Pasal 71 (3) ini sebagian pendapat menganggap rumusan tersebut menjadi delik formil. Tidak perlu dibuktikan perbuatan menguntungkan, jika sudah ada penyalahgunaan kewenangan, maka sudah dianggap melanggar.
"Sehingga dalam ketentuan Pasal 71 (3) tetap dapat diterapkan dengan dua alternatif, pertama, diterapkan secara utuh dalam jangka waktu yang disebut dalam norma tersebut, dengan segala masalah ikutannya atau kedua hanya ditetapkan setelah tanggal penetapan pasangan calon, dalam Pilkada dengan cara menghubungkan dugaan pelanggaran bagi kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemda, sehingga ruang penanganan potensi pelanggaran yang dilakukan perlu digeser ke DPRD, jika mengacu UU Pemda," jelasnya.
Sedangkan menurut Dekan Fakultas Hukum Dr. Helmi mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 adalah kondisi mumpung ada bencana kemudian dijadikan bantuan tersebut menjadi politisasi dana Bansos, disamping biaya Pemilu yang tinggi, maka dimanfaatkan dengan situasi ini dan ditambah adanya dana yang bisa disalurkan bagi masyarakat.
"Dari sudut UU Administrasi Pemerintah, ada larangan penyalahgunaan wewenang sebagai Pasal 17 UU 30 Tahun 2014 tentang administrasi Pemerintahan (UU AP), artinya secara regulasi sudah mencukupi selain dari UU Pemda. Nah, pertanyaannya, dimana peran Bawaslu?. Peran Bawaslu adalah mengingatkan KPK, POLRI, Kepala Daerah yang berpotensi menjadi Petahana untuk tidak melakukan politisasi dana Bansos," kata Helmi.
219