Para ahli yakin, akan ada gelombang kedua, bahkan ketiga penularan virus corona. Korea Selatan yang sebelumnya berhasil menekan penyebaran, kini kembali sibuk menekan ledakan penularan.
Setelah sempat meriah, kelap-kelip kehidupan malam di Distrik Itaewon, Seoul, kembali redup. Pusat kehidupan malam di Ibu Kota Korea Selatan itu kembali ditutup, setelah seorang pengunjungnya terinfeksi virus corona.
Otoritas setempat mengumumkan, seorang pria jelang 30 tahun, positif terinfeksi virus corona setelah menjalani uji swab pada Rabu, 6 Mei pekan lalu. Upaya pelacakan aktivitasnya mengantarkan para petugas kesehatan pada mimpi buruk: potensi gelombang kedua ledakan virus corona.
Empat hari setelah pria itu dinyatakan positif, jumlah yang terinfeksi COVID-19 dari klaster kelab malam di Itaewon melonjak jadi 75 orang. Bahkan pada Minggu, 10 Mei saja, jumlah yang terinfeksi 35 orang. Rekor harian tertinggi dalam sebulan terakhir, seperti dilaporkan laman Chosun Ilbo, Senin, 11 Mei lalu.
Menurut data Korea Centers for Disease Control and Prevention (KCDC/Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea), kasus terkait kelab di Itaewon bukan hanya menginfeksi warga Seoul, melainkan provinsi tetangganya. Ada 16 orang di Provinsi Gyeonggi, enam di Incheon, dua di Provinsi Chungcheong Utara, satu di Busan, dan satu di Pulau Jeju.
Alarm tanda bahaya langsung menyala. Aparat pemerintah bergegas memburu para pengunjung kelab malam dan bar. Lima kelab yang diduga menjadi pusat penyebaran infeksi, yakni King, Queen, Trunk, Soho, dan HIM, menyerahkan data pengunjung pada 30 April sampai 5 Mei. Jumlahnya 5.517 orang. Petugas sudah berhasil menghubungi 3.535 orang. Sisanya masih belum terlacak.
Kepala KCDC, Jung Eun-kyong, mengatakan kepada media, "Tingkat penularannya sangat tinggi, tetapi tampaknya hampir separuh dari mereka tidak menunjukkan gejala. Jadi, siapa pun yang mengunjungi kelab dan bar di Itaewon selama akhir pekan yang panjang kemarin, harus memeriksakan diri."
Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan, Park Neung-hoo, mengatakan bahwa pemerintah mempertimbangkan untuk mengisolasi semua orang yang pergi ke kelab di Itaweon selama periode tersebut.
***
Korea Selatan dipuji dan menjadi teladan dunia dalam penanganan wabah corona. Negara itu berhasil menekan penyebaran wabah dan sedang bersiap-siap melonggarkan isolasi. Terungkapnya klaster penularan baru ini, menyebabkan pemerintah dan swasta mengerem rencananya dan kembali memperketat isolasi. Termasuk kelab-kelab malam di Itaewon.
Eom Joong-shik dari RS Gil University Cachon mengatakan, "Ada kemungkinan besar kebangkitan epidemi virus corona, karena infeksi menyebar di seluruh negeri. Kita bisa kembali ke posisi dua bulan lalu."
Kekhawatiran Eom Joong-shik beralasan. Di atas kertas, pandemi tidak datang dalam satu gelombang besar. Bisa jadi, akan datang gelombang penularan kedua, bahkan ketiga.
Presiden Robert Koch Institute, Lothar Wieler, mengatakan bahwa mayoritas ilmuwan menyakini akan ada gelombang kedua. "Ini adalah pandemi, dan dalam pandemi, virus ini akan tetap menjadi masalah medis hingga 60% sampai 70% dari populasi telah terinfeksi," katanya, seperti dikutip Times of London, pekan lalu.
"Oleh karena itu, kita tahu dengan pasti akan ada gelombang kedua. Mayoritas ilmuwan yakin akan hal ini. Ada juga yang mengasumsikan, akan ada gelombang ketiga," ujar Wieler lagi.
Tanpa vaksin, yang mungkin paling cepat tersedia pada awal 2021, dunia akan melihat bermunculannya kasus-kasus baru. Salah satunya di Seoul, dengan munculnya klaster baru dari kelab malam, setelah relaksasi karantina.
***
Sejarah mencatat, pada 1918, pandemi Flu Spanyol gelobang kedua diperkirakan menginfeksi 500 juta orang atau sepertiga populasi dunia kala itu. Gelombang kedua ini lebih mematikan dari yang pertama dan dampaknya lebih buruk pada pasien muda.
Berdasarkan catatan John Hopkins University, saat ini pandemi COVID-19 sudah menginfeksi lebih dari 4 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 278.000 orang tewas di seluruh dunia.
Pekan lalu, Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular AS (Center for Infectious Disease Research and Policy/CIDRAP) merilis sebuah studi yang memperkirakan tiga skenario terkait gelombang wabah berikutnya. Skenario pertama, gelombang pertama diikuti gelombang berikutnya yang lebih kecil, tetapi signfikan hingga 2021. Dalam skenario ini, kapan dan di mana ledakan gelombang penularan baru, sulit diprediksi. Saat gelombang penularan terjadi lagi, penerapan protokol "jaga jarak" dilaksanakan secara ekstrem.
Direktur CIDRAP, Michael Osterholm, mengatakan bahwa para peneliti belum memahami sepenuhnya mengapa muncul puncak-puncak penularan dalam pandemi seperti ini. "Jika virus ini berperilaku seperti virus flu, bisa jadi ia memiliki jadwal dan waktunya sendiri," katanya di New York Academy of Scientists, seperti dilaporkan laman Nationalpost pada Jumat, 8 Mei lalu.
Menurut Osterholm, skenario paling atas, yaitu jika sebuah wilayah terinfeksi, akan terus menulari berputar-putar sampai cukup banyak yang terinfeksi. Skenario ini mungkin yang akan banyak dialami, karena gelombang penularan muncul lagi dan lagi selama bertahun-tahun.
Skenario kedua lebih mirip Flu Spanyol. Dalam proyeksi itu, guncangan pertama hanyalah pemanasan dan gelombang saat ini bukan yang terburuk. Alih-alih, setelah mereda selama musim panas, COVID-19 kembali pada musim gugur dengan keras, menyebabkan gelombang penularan lebih besar dan lebih signifikan. Kemudian disusul serangkaian gelombang yang jauh lebih kecil selama tahun berikutnya. Itu adalah pola umum pada 100 tahun lalu. Dalam skenario itu, isolasi sosial penuh mungkin akan kembali pada musim gugur mendatang.
Dalam skenario ketiga, setelah gelombang pertama, akan muncul guncangan-guncangan yang tidak terlalu besar hingga sepanjang 2022. Kasus dan wabah terus terjadi, tetapi tidak ada pola yang ditetapkan.
"Ini akan menjadi maraton yang berlangsung 9, 12, 18 bulan lagi,” kata Ahli Epidemiologi di Universitas Hong Kong, Dr. Gabriel Leung.
Rosyid
- - - - - -
"Oleh karena itu, kita tahu dengan pasti akan ada gelombang kedua. Mayoritas ilmuwan yakin akan hal ini. Ada juga yang mengasumsikan akan ada gelombang ketiga."
- Lothar Wieler, Presiden Robert Koch Institute
Infografis:
Tiga Skenario Gelombang Kedua
Skenario pertama, gelombang pertama diikuti gelombang berikutnya yang lebih kecil, tetapi signfikan hingga 2021. Skenario ini mungkin yang akan banyak dialami, karena gelombang penularan muncul lagi dan lagi selama bertahun-tahun.
Skenario kedua, mirip Flu Spanyol. Dalam proyeksi itu, guncangan pertama hanyalah pemanasan dan gelombang saat ini bukan yang terburuk. Alih-alih, setelah mereda selama musim panas, COVID-19 kembali pada musim gugur dengan keras, menyebabkan gelombang penularan lebih besar dan lebih signifikan.
Skenario ketiga, setelah gelombang pertama, akan muncul guncangan-guncangan yang tidak terlalu besar hingga sepanjang 2022.
Sumber: CIDRAP