Home Ekonomi Menghalau Karhutla di Sumsel dengan Investasi Hijau

Menghalau Karhutla di Sumsel dengan Investasi Hijau

Palembang, Gatra.com – Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan (Sumsel) menjadi ancaman setiap musim kemarau tiba. Betapa tidak, memasuki musim kering yang biasanya berlangsung dari akhir Mei, ancaman bencana ini terus berulang setiap tahunnya.

Di Sumsel misalnya, pengalaman karhutla sejak 2015 masih berulang hingga 2019 lalu. Karhutla yang terjadi sepanjang lima tahun terakhir sudah berimbas pada kesehatan masyarakat. Sejumlah layanan kesehatan di Sumsel juga melayani pasien yang mengalami gangguan (inpeksi) pernapasan akut (Ispa) pada rentang waktu terjadinya karhutla.

Peneliti Lembaga Perkumpulan Lingkar Hijau Sumsel, Hadi Jatmiko mengatakan perlunya keseriusan dalam menghalau bagaimana karhutla kembali terjadi di Sumsel, mulai dari sisi hulu dan hilirnya. Bagaimana aksi pembakaran hutan dan lahan bisa dinilai sebagai kejahatan yang sangat berat bagi lingkungan dan membutuhkan upaya dari berbagai lini guna memberikan tindakan hukum yang tegas, “Mengulas kebakaran lima tahun terakhir saja di Sumsel, itu sudah memperlihatkan kebakaran terus terjadi setiap tahunnya. Butuh upaya yang menyeluruh untuk menghalaunya,” ujarnya belum lama ini.

Lepasnya karbon yang berlebihan saat terjadinya karhutla terutama dari lahan gambut menjadi ancaman yang serius bagi lingkungan, belum lagi ancaman kebekaragaman hayati yang berada di lahan hutan dan lahan tersebut.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyatakan karhutla pada tahun 2019 lalu mengakibatkan hampir mencapai setengah lahan terbakar pada tahun 2015. Kebakaran tahun lalu, seolah hampir mengulang kebakaran yang besar pada tahun 2015.

Berdasarkan datanya, kebakaran hutan pada tahun 2019, luasan lahan yang terbakar di Sumsel, mencapai 336.798 ha. Luasannya mencapai setengah hari dari luasan lahan yang terbakar pada tahun 2015 lalu, mencapai 646.298,8 ha. Sedangkan pada tahun 2016, luasan yang terbakar selyas 8.784, 91 ha, pada tahun 2017 seluas 3.625, 66 ha dan pada 2018, seluas 16.226,6 ha.

Sedangkan luasan yang berbakar di Sumsel berdasarkan data HaKI Sumsel menghimpun sejumlah perusahaan yang dinyatakan memiliki catatan buruk terjadinya kebakaran yang berulang di lahan mereka. HaKI juga mencatat terjadinya kebakaran yang berulang di lahan tersebut.

Selain itu, HaKI juga menyatakan kebakaran lahan yang terjadi di kawasan gambut Sumsel yang berfungsi besar menjaga keberagaman hayati. Di antaranya pada tahun 2019 lalu, kebakaran di gambut dangkal, yakni gambut dengan kedalaman 50-100 cm, seluas 49.441, 72 hektar (ha), sedangkan gambut dengan katagori sedang yakni 100-200 cm, telah terbakar seluas 26.038,40 ha dan lahan gambut dalam yang memiliki kedalaman 200-300 cm, terbakar seluas 18.032,27 ha dan gambut yang sangat dalam kedengan kedalaman lebih dari 300 cm yakni 12,271.69 ha. Secara keseluruhan pada tahun lalu, gambut Sumsel yang terbakar sebanyak 105,782 ha. “Belum lagi, kerusakan di lahan gambut yang berperan sebagai pengikat cadangan carbon di alam ini,” ucap Hadi.

Ia menambahkan, sejumlah perusahaan yang menjadi perwakilan group besar juga menyumbang kebakaran cukup masif. Sebut saja, perusahaan dengan lima group itu mengakibatkan kebakaran pada 14.153 hektar (ha) lahan di Sumsel.

“Kebakaran jelas bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup. Dalam aturan itu, kebakaran menjadi tanggungjawab pemilik konsensi lahannya. Sayangnya, pemerintah masih memberikan kesempatan pada para pelaku pembakar lahan tanpa tindakan hukum yang tegas,” ungkapnya.

Karena itu, kata Hadi, berbagai upaya menghalaunya dapat dilakukan di sisi kebijakan keuangan. Ia menegaskan, pemerintah hendaknya mengoreksi aliran pembiayaan investasi perusahaan pembakar tersebut. Dengan mengetatkan alur pembiayaan, terutama lembaga pembiayaan, maka kepercayaan kepada perusahaan bisa menghalau terjadinya kerusakan lingkungan akibat karhutla di Sumsel.

Jika mengacu kepada peraturan pada OJK tahun 2017 yang juga mengatur greenboad dan keuangan berkelanjutan, maka akan menjadi sanksi kepada perusahaan pelaku karhutla yang lambat laun ditinggalkan masyarakat yang menginginkan investasi hijau,

“Penghukumannya ialah bisa dari sisi hulu, di mana masyarakat yang menyetorkan dana pada lembaga keuangan bisa memilih sekaligus menentukan perusahaan mana yang memiliki catatan bersih pada upaya pelestarian lingkungan dan yang menjadi perusak. Namun membangun budaya kritis dan keterbukaan informasi dan data ialah tantangan bagi publik selanjutnya,” terang ia.

Mengenalkan investasi hijau, dikatakan Executive Director Kehati Foundation, Riki Frindos bukan perkara yang mudah. Lembaganya mencatat, rentetan jejak dimulai sejak 2009 di mana lembaga Sri Kehati mengenalkan ESG Indeks yang awalnya belum banyak dikenal. Investasi tradisional masih menjadi pilihan sebagian besar investor kala itu.

“Kemajuan saat pada tahun 2014, OJK juga mengeluarkan road map keuangan berkelanjutan (suitanaible finance), dilanjutkan pada tahun 2017 juga terdapat aturan OJK Green Bond dan Suitainable Finance, yang barulah pada tahun ini, yakni 2020 menjadi tahun pelaksanaannya,” ujarnya saat webinar yang diselanggarakan Kehati kepada awak media, (28/4) kemarin.

Kehati juga mencatat besaran nilai investasi berkelanjutan yang didukung mengalami peningkatan setiap tahunnnya.

Pengamat Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah, Yenrizal menilai, perlunya dukungan yang konferhensif guna menghalau kebakaran hutan dan lahan. Memang dari sektor hulu, yakni perbankan kelanjutan atau aliran saham yang berkelanjutan diperlukan dalam membangun kepercayaan pada ekonomi berkelanjutan (economic suistanable). Penerapannya yang sudah dikenalkan terutama pada perusahaan multinasional, menjadi salah satu upaya menahan kerusakan lingkungan saat ini.

“Tidak cukup hanya dengan mengalaunya dari sisi pembiayaan, namun harus juga terdapat tindakan hukum. Soal saham, atau investasi berkelanjutan itu dari aspek ekonomi saja, sementara sanksi yang tegas ialah dalam bentuk menyeluruh. Tidka hanya ekonomi, namun juga hukum, dan memiliki efek jera secara sosial,” ungkapnya.

Karhutla ialah bentuk kejahatan lingkungan yang harus mendapatkan perhatian serius. Kerusakan lingkungan hendaknya dinilai sebagai kejahatan luar biasa yang harusnya dapat ditekan. KLHK pun pernah melakukan penyegelan terhadap lahan-lahan perusahaan yang terbakar. Penyegelan sebagai upaya penyelindikan yang dilakukan sebagai bentuk ketegasan terhadap pemilik konsensi.

Sayangnya, kata Direktur Walhi Sumsel, Hairul Sobri, belum terdapat perusahaan di Sumsel yang dicabut izinnya meski lahan mereka telah disegel oleh KLHK. “Baik kejadian karhutla tahun 2015 sampai dengan tahun lalu, lima tahun terakhir. Meski melakukan penyegelan pun, belum ada perusahaan yang benar-benar mendapatkan efek tegas dari UU Lingkungan Hidup, apalagi jika rancangan Omnibuslaw terwujud. Kami masih sanksi, jika pemerintah akan tegas, dan memang butuh intervensi-intenvensi lebih tegas menghalau karhutla tahun ini,” ungkapnya.

Dalam rakor yang diselenggarakan di Palembang, Gubernur Sumsel, Herman Deru telah mengeluarkan sejumlah kebijakan guna menghalau kebakaran hutan yang diantaranya menunjuk langsung kepala daerah di kota dan kabupaten sebagai kepala penanggulangan karhutla tahun ini.

325