Jakarta, Gatra.com – Hubungan ekonomi Indonesia-Australia sudah berlangsung sejak lama. Sebelumnya kedua negara sudah meneken Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement) setelah melewati proses perundingan yang alot selama 9 tahun. Pada Februari lalu, DPR mengesahkan RUU Perdagangan Bebas Indonesia-Australia atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) menjadi Undang-Undang.
Banyak yang berharap pengesahan regulasi tersebut akan meningkatkan peluang pemerintah untuk menggenjot investasi dan ekspor ke negara Kanguru. Perampungan undang-undang juga untuk menguatkan daya tawar Indonesia sebagai rantai pasok global. Namun seberapa efektif beleid yang disetujui ke dua negara mampu meningkatkan iklim investasi, terutama pada tahun 2020 dimana badai pandemi telah merontokkan ekonomi banyak negara?.
Hal tersebut diungkap oleh akademisi dan praktisi dari Monash University, Australia, Giovanni Di Leto. Menurut Giovanni, persetujuan IA-CEPA telah membawa angin segar bagi hubungan ekonomi kedua negara khususnya Australia sebagai mitra ekonomi dekat Indonesia. “Australia beruntung perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia telah rampung sebelum krisis COVID-19 melanda, karena kalau tidak, Australia tidak akan pernah bisa mendapatkan konsesi yang menguntungkan untuk mengakses pasar Indonesia yang terus berkembang,” ujar Giovanni dalam keterangannya kepada Gatra.com, Senin (11/5).
Sejumlah kontribusi ekonomi akan mengalir ke Australia dimana sejumlah perusahaan Australia ingin melakukan ekspor produk susu ke Indonesia. Tak hanya itu negara tersebut, terang Giovanni, juga punya keinginan untuk berinvestasi di sektor pendidikan tinggi, pertambangan, perawatan kesehatan, pariwisata, telekomunikasi, energi, transportasi dan konstruksi.
Namun pakar geopolitik perdagangan itu menyebutkan akan sulit bagi Indonesia maksimal dalam menggarap investasi yang ditawarkan Australia mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang turun selama masa Covid berlangsung. “Saya ragu Indonesia akan memberikan akses terhadap pasar yang besar (jika hal ini menjadi bagian dari negosiasi saat ini), karena target pertumbuhan PDB Indonesia yang luar biasa untuk tahun 2019 telah diturunkan menjadi 4,8%,” katanya.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi juga menghantam Australia dimana negara tersebut juga diperkirakan jatuh dalam jurang ekonomi negatif dalam tahun ini. “Pada saat yang sama, ekonomi Australia diperkirakan akan jatuh ke dalam resesi yang dalam (setara dengan -6,8%) untuk pertama kalinya dalam hampir 30 tahun. Hari ini, Australia harus mengalah terhadap pada isu-isu yang sensitif secara politik di Indonesia, seperti akses pasar tenaga kerja dan imigrasi ke Australia, serta rendahnya perlindungan untuk investasi modal ke Indonesia”.
Namun ia menyampaikan terlepas kesepakatan dagang baru tersebut perlahan akan menguntungkan kedua negara sekaligus menandai hubungan yang erat antara Australia-Indonesia. “Sebuah penanda positif di kawasan Indo-Pasifik yang dinamis serta cenderung tidak stabil karena berada di pusaran episentrum perang dagang antara AS-Tiongkok. Hal itu menunjukkan pergeseran bahwa kebijakan yang tadinya hanya meliputi aspek perdagangan kini berubah ke arah kebijakan keamanan,” kata dosen hukum perdagangan internasional Monash University itu.
Australia dan Indonesia menurutnya memiliki target untuk mempererat hubungan bilateral dengan negara kekuatan menengah lainnya yang ingin melindungi posisi dari kekuatan besar di kawasan Samudra Hindia dan Pasifik. Terlebih fakta bahwa pandemi COVID-19 secara dramatis telah meningkatkan pergerakan persaingan geopolitik AS-Tiongkok untuk mendominasi kawasan Asia.
“Strategi Donald Trump untuk menahan kebangkitan China sebagai negara adikuasa global menunjukkan bahwa sekuritisasi perdagangan dan investasi Indo-Pasifik siap untuk mengimbangi mundurnya geopolitik AS dari kekuatan inti di Asia,” ungkapnya.
Giovanni menyebutkan kondisi tersebut dapat saja menganggu hubungan perdagangan dan investasi Australia dan Indonesia serta Tiongkok sebagai mitra terdekat di Asia. “Namun hal tersebut dapat membentengi kepentingan keamanan dan ekonomi Australia dan Indonesia dari bahaya kemunduran strategis AS dari inti Asia dan ke dalam lingkaran Indo-Pasifik,” ujar penulis buku International Trade Law itu.
Dengan basis ekonomi murni dan serta asumsi rute perdagangan geopolitik dengan Tiongkok akan stabil dalam jangka panjang pasca-pandemi, Australia dan Indonesia berada di posisi yang tepat untuk mengisi kesenjangan akibat hubungan perdagangan AS-Tiongkok yang rapuh. Demikian keuntungan komersial besar menurutnya akan tercipta akibat pengalihan perdagangan Tiongkok-Amerika, seperti yang mampu dilakukan Vietnam dalam dua tahun terakhir.
“Australia dan Indonesia dapat melakukannya hanya dengan mengatasi tantangan pada sistem multilateralisme WTO yang mulai usang dan dengan mendorong hubungan perdagangan dan investasi bilateral yang lebih strategis dan mengingat potensi dinamika geopolitik pasca-COVID19,” tandas Giovanni.