Jakarta, Gatra.com - Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia menyatakan dugaan praktik perbudakan terhadap Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia di kapal penangkap ikan berbendera Cina, Long Xing, harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi aturan dan mekanisme pengiriman awak kapal ikan ke luar negeri.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Moh Abdi Suhufan, dalam keterangan tertulis, Kamis (7/5), mengatakan, pemerintah juga perlu melakukan upaya edukasi dan kampanye pencegahan kepada masyarakat luas agar tidak terjebak pada praktik kerja paksa dan perdagangan orang.
Melihat perlakuan tidak adil yang dialami oleh awak kapal perikanan dan menyebabkan kematian 3 orang awak kapal perikanan asal Indonesia mengindikasikan bahwa kerja paksa atau perbudakan modern masih terjadi pada industri perikanan tangkap.
Menurut Abdi, kejadian yang dialami oleh awak kapal perikanan asal Indonesia di kapal Cina dan terbongkar oleh otoritas pemerintah Korea Selatan (Korsel) merupakan puncak dari gunung es dari praktik kerja paksa yang masih terjadi dan perlu upaya keras dari semua pihak untuk melakukan pencegahan.
"Ini momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap aturan dan mekanisme rekruitmen dan pengiriman awak kapal perikanan ke luar negeri yang saat ini masih multi channel, sehingga meyulitkan pengawasan dan belum memberikan perlindungan maskimal bagi awak kapal perikanan di luar negeri," kata Abdi.
Seperi diketahui, mekanisme pengiriman awak kapal perikanan ke luar negeri saat ini dilakukan melalui 5 jalur dan aturan yaitu oleh Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TIK, pemerintah daerah dan jalur mandiri melalui kerja sama bisnis. Akibat kondisi ini, upaya pengawasan awak kapal perikanan di luar negeri menjadi sulit dilakukan.
"KBRI akhirnya sulit mendekteksi keberadaan mereka untuk melakukan monitoring dan pengawasan karena aturan tiap-tiap instansi pengirim berbeda," kata Abdi.
Sebenarnya, lanjut dia, Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Buruh Migran sudah mengamanahkan hal ini, tapi aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah belum dikelaurkan oleh pemerintah.
Walaupun ada banyak pintu untuk bekerja di kapal ikan luar negeri, mayoritas awak kapal perikanan berangkat lewat jalur ilegal. Ini problem besar selanjutnya, sebab pemerintah tidak punya data pasti berapa banyak awak kapal perikanan di negara tempat bekerja.
"Keberadaan dan aktvitas mereka terungkap jika ada kasus seperti kejadian di Korea Selatan," kata Abdi.
Sementara itu, Koordinator Progran dan Advokasi, DFW-Indonesia untuk SAFE Seas Project, Muhammad Arifuddin, menyarankan, agar pemerintah Indonesia untuk ikut melakukan edukasi kepada calon awak kapal perikanan yang akan bekerja di luar negeri.
"Pemberian informasi tentang syarat-syarat dan kondisi bekerja di kapal ikan perlu disosialisasikan kepada calon pekerja agar mereka menyadari tingkat risiko yang akan dihadapi," kata Arifuddin.
Hasil penelitian dan sejumlah kasus awak kapal perikanan yang dirujuk oleh DFW-Indonesia menemukan beberapa praktik kerja paksa yang dialami oleh mereka. Praktik tersebut antara lain kondisi kerja yang tidak layak, jam kerja panjang, tipu daya, gaji tidak dibayar dan pemanfaatan kerentanan ekonomi keluarga pekerja.
"Oleh karena itu, kami telah membangun Fisher Centre di Jawa Tengah dan Bitung sebagai pusat layanaan edukasi dan pelaporan awak kapal perikanan," ujar Arifuddin.
Menurutnya, ini untuk membantu upaya pencegahan dengan pemberian informasi yang dibutuhkan bagi awak kapal ikan yang bekerja baik didalam maupun luar negeri agar mereka dapat terhindar dari praktik kerja paksa dan perdagangan orang.