Jakarta, Gatra.com - Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, mengatakan bahwa mengatakan bahwa perilaku Kepala Daerah yang memanfaatkan program bantuan penanganan Covid-19 sebagai ajang pencitraan dalam konteks Pemilihan Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung pada Desember 2020 mendatang harus menjadi perhatian seluruh pihak.
Dirinya mengingatkan agar para Kepala daerah yang kemudian menjadi Incumbent dalam kontestasi Pilkada 2020 untuk tidak melakukan praktek-praktek manipulasi seperti pencitraan dalam program bantuan tersebut. Jeirry menyebut bahwa apa yang dilakukan kepala daerah untuk kepentingan kemenangan pemilihan tersebur sangat tidak etis dan sangat tidak bermoral.
"Kalau kita lihat catatan yang kami himpun, paling tidak ada beberapa daerah yang menemukannya praktek-praktek di mana ada politisasi bantuan dana bantuan untuk program penanganan Covid-19 ini. Yang sudah terkenal sekali adalah Jawa Tengah, khususnya di kabupaten Klaten. Kemudian ada di Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta," kata Jeirry dalam Telekonferensi Daring, Selasa (5/5).
Jeirry mengungkapkan, Pola atau bentuk politisasi yang dilakukan dalam bantuan tersebut pun beragam. Mulai dari pemasangan gambar wajah dan stiker, baliho, pesan (kampanye) dalam bantuan, hingga surat dalam kemasan bantuan sari kepala daerah yang akan maju.
"Kemudian warna kantong kemasan. Sepeeti di Bekasi, disana kami temukan kantong kemasan babtuan warna kuning. Meskipun itu mungkin bisa dijelaskan, tapi ini bisa kita catat sebagai indikasi politisasi bantuan," Jelasnya.
Kemudian Jeirry juga mengatakan bahwa pola kepala daerah yang turun langsung membefikan bantuan juga dicatat pihaknya sebagai bentuk politisasi bantuan. Potensi kepala daerah yang turun bisa menjadi indikasi bentuk pencitraan yang dilakukan oleh pihak tersebut dalam memanfaatkan program penanganan Covid-19.
"Karena kalau sedang dalam wabah ini kan baiknya dirumah, ngapain kepala daerah itu harus pusing-pusing dengan pemberian bantuan yang dia berikan secara langsung," Ujarnya.
Kata Jeirry, adanya potensi penyalahgunaan program bantuan tersebut dikarenakan adanya wewenang penuh kepada kepala daerah untuk melakukan pergeseran anggaran. Hal itu juga didukung adanya instruksi pusat untuk melakukan penggeseran anggaran dalam konteks penanganan Covid-19.
"Yang jadi masalah, juga terjadi dalam transparansi dalam penyaluran. Transparansi keuangan itu menjadi problem baik di pusat dan daerah. Kemudian yang berpotensi juga adalah belanja Riil alat kesehatan dan obat-obatan. Ini kalau tidak diawasi, potensi penyalahgunaannya sangat tinggi," Pungkasnya.