Setelah dikabarkan meninggal, mendadak muncul foto dan video aktivitas Presiden Kim Jong Un pada awal Mei. Untuk menegaskan kekuatannya dan eksistensi militer Korea Utara.
Tak sampai sehari setelah Presiden Korea Utara (Korut) Kim Jong Un muncul kembali di hadapan publik setelah rumor bahwa dirinya meninggal, pasukannya terlibat baku tembak di perbatasan dengan pasukan Korea Selatan (Korsel), pada hari Minggu lalu. Kepala Staf Gabungan Korsel (JSC) mengeluarkan pernyataan pada Minggu pagi, pukul 07.41 waktu setempat, bahwa sejumlah tembakan datang dari pasukan Korut di perbatasan dan diarahkan ke posko keamanan Korsel di dekat Kota Cheorwon. Kota ini terletak di garis perbatasan kedua negara, yakni zona demiliterisasi (demilitarized zone/DMZ).
Dilaporkan BBC, salah satu tentara Korsel mengatakan respons mereka atas tembakan itu adalah dua tembakan ke udara dan pernyataan peringatan, sesuai dengan buku panduan. Adapun dilansir Reuters, tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Kedua negara itu hingga kini memang tercatat masih dalam status perang. Hal ini karena perang saudara pada 1950-1953 berstatus gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Seoul menyatakan, mereka tak percaya kalau tembakan itu adalah provokasi resmi dari Korut, mengingat arah tembakan datang dari sekitar lahan pertanian. Selain itu, tembakan terjadi dalam kondisi pagi hari yang berkabut. "Dengan tidak adanya penglihatan yang jelas [atas target] dan di dalam kabut, apakah akan ada langkah provokasi yang akurat?" ujar seorang pejabat Korsel yang menolak disebut namanya.
Sebelumnya, Presiden Kim Jong Un, 36 tahun, terakhir kali terlihat di media pemerintah pada 11 April lalu. Beberapa pekan tak ada berita darinya, bahkan dikabarkan meninggal dunia usai menjalani operasi atas penyakitnya. Spekulasi ini muncul karena bukan suatu kelaziman bagi pemimpin Korut tak hadir di depan publik untuk waktu sedemikian lama. Terlebih lagi, di masa lalu, kematian kakeknya, Kim Il Sung, dan sang ayah, Kim Jong Il, baru diumumkan resmi setelah puluhan hari berlalu.
Namun, Pada perayaan Hari Buruh 1 Mei (May Day), mendadak Kim Jong Un terlihat di sebuah foto yang disebarkan dalam keadaan baik pada Sabtu, 2 Mei lalu. Kantor berita resmi Korut, Korean Central News Agency (KCNA), menulis bahwa sang Supreme Leader merayakan Hari Buruh yang tiap tahun jatuh pada 1 Mei tersebut, sembari menggunting pita untuk menandai beroperasinya sebuah pabrik pupuk di Provinsi Pyongan Selatan.
Media resmi pemerintah, Korean Central Television (KCTV), memperlihatkan video Kim Jong Un berjalan, tertawa, merokok, juga duduk di panggung resmi bersama dengan saudarinya, Kim Yo Jong, dan sejumlah pejabat lain. Tak ada satu pun yang mengenakan masker di wajah.
Meski demikian, keaslian foto yang juga muncul di media resmi Koran Rodong Sinmun itu, masih tak dapat diverifikasi. Hal ini memicu tanya, benarkah foto itu diambil pada Sabtu, 2 Mei 2020, demikian ditulis Reuters.
***
Terkait tembak-menembak antara pasukan Korsel dan Korut, Komando PBB (United Nations Command/UNC) yang merupakan Komisi Gencatan Senjata Militer dan kini dipimpin oleh Amerika Serikat, menyatakan sedang bekerja bersama JSC untuk menyelidiki hal yang sebenarnya terjadi di DMZ tersebut. "Kami mengawasi laporan terkait hal ini dengan sangat seksama. Seperti yang Anda ketahui, Korea Utara adalah rekanan kita yang sangat dekat," ucap Penasihat Keamanan Nasional AS, Robert O’Brien, dalam wawancara dengan Fox News. Di sisi lain, Presiden Donald Trump menolak berkomentar soal ini.
Penasihat Presiden Korsel, Moon Chung-in, mengatakan kepada CNN pada hari Minggu usai penembakan, bahwa Presiden Korut ada dalam kondisi "sehat-sehat saja". Ia mengatakan, Presiden Kim diketahui berada di daerah Wonsan yang berlokasi di pantai timur Korut sejak 13 April. "Tidak ada aktivitas mencurigakan yang terdeteksi sejauh ini," ucapnya. Adapun Presiden Korsel, Moon Jae-in, tak mengeluarkan pernyataan apa pun.
Kemunculan Presiden Kim tersebut, membuat para lawan politiknya dalam kondisi makin rumit. Ketidakpastian kesepakatan denuklirisasi antara AS dan Korut, juga masalah panjang Korut dengan negara tetangganya, Korsel serta Jepang, masih belum terselesaikan.
Media opini politik dari Amerika Serikat, Politico, menulis bahwa dalam menghadapi kesinambungan kebijakan Korut, Washington D.C. dan Seoul masih perlu mengoordinasikan pendekatan strategis mereka terhadap Pyongyang. Tujuan yang bertahan lama, yaitu menghindari eskalasi militer, mencegah terungkapnya penegakan sanksi, dan mencari peluang untuk melanjutkan diplomasi. Namun, tantangannya adalah menjembatani perbedaan antara prioritas Seoul, yakni keterlibatan lintas-perbatasan, dan prioritas denuklirisasi Washington D.C., sedangkan saat ini Presiden Trump disibukkan kampanye pemilihannya kembali dan epidemi COVID-19 di AS.
Sebaliknya, Presiden Moon bertekad menggandakan kerja sama antar-Korea setelah Seoul berhasil meratakan kurva epidemi COVID-19 dan partai Moon menang besar dalam pemilihan legislatif. Sebagai permulaan, Moon menegaskan bahwa kerja sama kesehatan masyarakat dengan Korut adalah tugas yang paling mendesak selama pertemuan dengan penasihatnya pada 27 April, hari peringatan dua tahun Deklarasi Panmunjom hasil KTT antar-Korea.
Meski demikian, keberlangsungan rezim Korut sangat bergantung pada Cina. Sekitar 80% perdagangan Korut dilakukan dengan Cina. Di sisi lain, Cina menjadi zona penyangga demi menghadapi Korsel yang merupakan sekutu AS dan menjadi markas pangkalan militer AS. Penyatuan Korea diyakini tak akan menguntungkan Cina. Jika keduanya bersatu, maka AS bisa lebih dekat lagi menjangkau area Cina.
Seoul dan Washington D.C. tentu membutuhkan kesepakatan dalam menetapkan sejauh apa harapan mereka atas pengaruh Cina di sana. Harus ada pertemuan dengan Beijing, Tokyo, dan Moskow, untuk mendiskusikan peran mereka bersama.
Wakil Presiden Asan Institute for Policy Studies, Choi Kang, percaya bahwa timing dari provokasi tersebut menunjukkan bahwa ini merupakan langkah terencana demi memperlihatkan Presiden Kim masih berkuasa dan memimpin sepenuhnya militer Korut. "Hari sebelumnya, Kim ingin menunjukkan bahwa ia sehat-sehat saja. Lalu sehari kemudian, Kim mencoba menghentikan semua spekulasi bahwa ia bisa saja tak punya kontrol penuh atas militer Korut. Tanpa perlu menembakkan nuklir sekalipun, Kim ingin mengingatkan kita bahwa, ya ia sehat, dan masih berkuasa," tuturnya.
Adapun pakar hubungan internasional pada Universitas Ewha Seoul, Profesor Leif-Eric Easley, mengatakan bahwa penembakan ini bisa saja ditujukan kepada internal mereka. Demi meningkatkan semangat militer Korut, terutama yang berada di perbatasan.
Flora Libra Yanti