Jakarta, Gatra.com - Pada Februari 2020 lalu, tiga lembaga yakni SAFEnet, Indonesia Youth IGF, dan Pamflet Generasi, merilis hasil survei terkait persepsi warganet muda Indonesia atas kebebasan berekspresi di dunia maya. Mayoritas dari responden yang berjumlah sekira 284 menyebut bahwa mereka meragukan keamanan internet, terlebih ketika ingin mengutarakan pendapatnya.
Hasil survei itu kembali diangkat dalam diskusi yang digelar secara daring oleh Amnesty International Indonesia dengan tajuk "Aktivis Vokal Rentan Dijegal di Dunia Digital" pada Senin (4/5). Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas memaparkan bahwa sebanyak 51,4 persen responden merasa Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi halangan mereka mengungkapkan ekspresinya.
"Tantangan atau ancaman berekspresi di dunia maya, sebagian besar 51,4 persen berpendapat bisa rentan dipidana karena UU ITE. Ini memang sesuai dengan hasil dokumentasi SAFEnet, ketika UU ITE diterbitkan, sampai hari ini menjadi momok yang paling besar. Kasusnya terjadi setiap tahun," kata Ika melalui video konferensi online, Senin (4/5).
Baca juga: Rekam Jejak Ravio Patra, Aktivis Diretas Sebelum Ditangkap
Selain UU ITE, Ika menyebut ada hal lain yang dianggap warganet sebagai ancaman kebebasan berekspresi, di antaranya perundungan 26,8 persen, intimidasi dan ujaran kebencian sebesar 7 persen, pembatasan akses dan blokir internet sebanyak 6 persen, kejahatan siber 3,9 persen, pelanggaran privasi 2,8 persen, dan hoaks 2,1 persen.
Sebanyak 284 responden survei yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut didominasi perempuan (58,8%), usia 21-25 tahun (34,5%), dan 17-21 tahun (26,8%)
Ika melanjutkan, pada Oktober 2019 lalu pihaknya juga merilis hasil proyeksi kebebasan berekspresi di dunia maya yang menyebut bahwa 2019-2024, sudah dinyatakan siaga satu. Artinya, keadaannya tidak begitu aman.
"Memang pengukuran ini kami adopsi pada (skala) kebencanaan, yakni normal, waspada, siaga, awas," tutupnya.