Jakarta, Gatra.com- Banyak pihak meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa anggaran Rp5,6 triliun yang terserap untuk penyelenggaraan pelatihan Kartu Prakerja, sedangkan dana APBN yang dikucurkan sebesar Rp20 triliun. Executive Director Indef, Tauhid Ahmad pun membeberkan, perlu data terpadu by name dan by address agar jumlah dana tersebut tersalurkan dengan baik.
“ Harus ada standar, siap melakukan pemeriksaan BPK. Pelaksana harus membuat jaring yang dipilih konsumen. Menurut saya keliru, ini merupakan arah industri prioritas,” katanya dalam Webinar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (29/4).
Menanggapi hal tersebut, BPK menyatakan belum berencana melakukan audit anggaran Kartu Prakerja. Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK, Selvia Vivi Devianti mengatakan, masih menunggu arahan pimpinan.
“ Saat ini BPK sedang menyelesaikan pemeriksaan LKPP dan LKKL/LKPD. Sepemahaman kami belum ada report yang terbit, hanya beberapa LKPD saja,” ujarnya.
Tauhid menuturkan, sesuai Perpres 54 Tahun 2020, perlu ditelusuri apakah ini merupakan bagian mandatori. Selain itu, menelisik juga seputar perubahan struktur karena pengalihan tanggung jawab dari Kemenaker kepada Kemenko Perekonomian.
“Akuntabilitas anggaran, struktur anggaran, ini benar enggak? Jangan-jangan menterinya tidak tau, kami khawatir, mereka tidak bertanggung jawab,” ucap Tauhid.
Kemudian, Perpu Nomor 1 Tahun 2020, perlu disahkan oleh DPR RI. CEO Lembaga Riset Katadata, Metta Darmasaputra mengatakan, Kartu Prakerja yang dibikin tunai, akan menjadi masalah besar.
“Kasus Century, ada perpu, ada masalah di kemudian hari. Ada aspek legal, segera sahkan perpu 2020,” ujarnya.