Jakarta, Gatra.com - Bank Indonesia (BI) telah melakukan pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing /QE) hingga Rp503,8 triliun. Namun, langkah BI untuk mengguyur likuiditas ke pasar uang, sepertinya belum memberikan dampak signifikan terhadap kondisi ekonomi nasional.
Menanggapi hal itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, kebijakan moneter yang dikeluarkan BI memang tidak bisa langsung menyasar sektor riil. Sebab, diperlukan stimulus percepatan yang dilakukan oleh pemerintah.
"Tapi juga jaring pengaman sosial dan perlindungan industri yang mengeluarkan Rp70 trilun dan subsidi KUR dan lain-lain untuk kartu prakerja, PKH, BNPT ini kemudian diperlukan pemerintah meningkatkan stimulus fiskalnya. QE dapat ditransfer dari perbankan ke sektor keuangan," kata Perry dalam konferensi video, di Jakarta, Rabu (29/4).
Perry menaambahkan, diperlukan juga percepatan yang disetujui restrukturisasi kredit dari bank. Memerlukan, dana tambahan yang telah diberikan BI ke perbankan agar dapat dengan efektif mengalir ke sektor riil.
"Gimana restrukturisasi kredit perbankan ini, proses yang dilakukan pemerintah dan OJK," ujarnya.
Semakin cepat kebijakan-kebijakan tersebut direalisasikan, lanjut Perry, akan semakin efektif pula pelonggaran kuantitatif yang telah dilakukan BI. Hingga pada akhirnya, dampak dari kebijakan tersebut dapat segera terjadi pada kondisi ekonomi Indonesia.
Sebelumnya BI telah mengeluarkan Quantitative Easing pada periode Januari-April 2020 sebesar Rp386 triliun. Jumlah itu berasal dari pembelian SBN di pasar sekunder yang diserap sebesar Rp166, 2 triliun dan sisanya dari term repo perbankan sebesar Rp137, 1 triliun.
Dari kebijakan pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp53 triliun dan nilai tukar swap sebesar Rp29,7 triliun.
"Kami juga tidak mewajibkan 1 tahun ini tambahan giro untuk yang tidak penuhi rasio intermediasi Mei Rp117,8 triliun. Jadi, Rp386 triliun ditambah Rp117,8 triliun, menambah Rp503,8 triliun," kata Perry.