Home Internasional Setelah Kim Jong Un Menghilang

Setelah Kim Jong Un Menghilang

Dua pekan Presiden Korut, Kim Jong Un, tak tampil di depan publik. Memicu beragam spekulasi. Rezim Kim diyakini belum akan bubar dalam waktu dekat.


Presiden Korea Utara, Kim Jong Un terakhir kali terlihat di media pemerintah pada 11 April silam, ketika memimpin rapat biro politik Partai Buruh dalam menyerukan langkah-langkah tegas Korea Utara (Korut) dalam menghadapi pandemi virus Covid-19. Dua minggu tak muncul di muka publik, pria 36 tahun ini dikabarkan sakit parah –bahkan ada spekulasi dia meninggal dunia.

Namun, masyarakat dibuat kaget karena pada Senin lalu, surat kabar Pemerintah Korut, Rodong Sinmun, memuat pemberitaan soal Kim Jong Un yang mengucapkan terima kasih kepada para pekerja yang membangun zona wisata di wilayah pantai timur Wonsan. Zona wisata Wonsan-Kalma adalah salah satu proyek konstruksi utama Kim sebagai upaya pengembangan pariwisata Korut dalam meningkatkan perekonomian yang goyah di bawah sanksi internasional.

"Pemimpin Tertinggi Kim Jong Un telah mengirimkan apresiasinya kepada para pekerja yang mengabdikan diri mereka untuk membangun zona wisata Wonsan-Kalma," demikian tulis harian itu, dikutip dari kantor berita Yonhap. Stasiun Penyiaran Pusat Korut juga melaporkan hal serupa.

Tak hanya itu, media pemerintah Korut juga mengeluarkan laporan tentang Kim mengirim surat-surat diplomatik dan menyampaikan hadiah kepada warga terhormat. Tetapi tidak ada laporan Kim di lapangan ataupun foto-foto Kim saat bekerja dalam dua minggu terakhir.

Pejabat resmi di Pyongyang tetap bungkam soal status dan keberadaan Kim, meski ini bukan hal baru bagi rezim yang sangat tertutup itu. Ketika Kim Il Sung meninggal, kematiannya baru diumumkan 51 hari kemudian. Sementara itu, kematian Kim Jong Il diumumkan 30 hari kemudian setelah jenazah dibalsem terlebih dulu.

Media Jepang Shukan Gendai menulis bahwa sebelumnya Kim Jong Un sedang mengunjungi pedesaan ketika dia mencengkeram dadanya dan jatuh ke tanah. Seorang dokter telah melakukan CPR. Setelah itu, petugas medis Cina diyakini telah dikirim sebagai bagian dari tim untuk merawat Jong Un. Dia sebelumnya menjalani operasi radio veskular, namun terdapat beberapa penyakit yang cukup membahayakan di antaranya obesistas.

Ada kemungkinan Kim tengah dalam masa pemulihan dari sakit atau operasi medis, atau sekadar berjarak demi mengamankan diri dari pandemi virus corona. Bisa pula, Pemerintah Korea Utara sekedar menepi demi menyusun rencana setelah pemilihan legislatif Korea Selatan dan sebelum pemilihan Presiden Amerika Serikat. ″Namun, tak tertutup kemungkinan pula Kim sekarat atau bahkan telah meninggal,″ tulis situs foreignpolicy.com.

Skenario pertama, Kim kembali memimpin setelah dia pulih. Dalam menghadapi kesinambungan kebijakan Korut, Washington dan Seoul masih perlu mengoordinasikan pendekatan strategis mereka terhadap Pyongyang. Tujuan yang bertahan lama adalah untuk menghindari eskalasi militer, mencegah terungkapnya penegakan sanksi, dan mencari peluang untuk melanjutkan diplomasi.

Skenario kedua, Jong Un tetap tidak terlihat dan berpotensi menghilang untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Kondisi ini tentu meningkatkan ketidakpastian tentang stabilitas Korea Utara, yang pada gilirannya, dapat meningkatkan risiko kesalahan perhitungan, miskomunikasi, dan eskalasi yang tidak disengaja.

Ini memantik spekulasi lainnya, jika saudara perempuannya, Kim Yo Jong, yang selama ini menjadi orang kepercayaan Jong Un, yang akan menggantikan. Jika Yo Jong berada di pucuk pimpinan, Korut mungkin melanjutkan kebijakan latihan militer dan tes rudal, baik jangka pendek maupun menengah.

Calon yang mungkin berebut kekuasaan selain saudara perempuan Kim adalah pamannya, Kim Pyong Il. Walau dia telah diasingkan secara efektif selama beberapa dekade sebagai duta besar di ibu kota Eropa, Pyong Il telah kembali ke Korut tahun lalu. Dia mungkin mendapat dukungan di antara para elit dari generasinya.

Calon tak disangka-sangka bisa pula muncul dari garis keturunan Kim lainnya. Salah satu kandidat yang dikabarkan mungkin menjadi pemimpin baru Korut adalah putra almarhum Jong Nam, Kim Hansol. Pria 26 tahun alumnus kampus Prancis tersebut kini menetap di Makau bersama ibunya. Dia mendapat perlindungan dari Pemerintah Cina karena dia juga menjadi target pembunuhan Jong Un sebab dinilai berpotensi menjadi pesaing takhta Kim. Beberapa kali upaya pembunuhan atas dirinya digagalkan oleh intelijen Cina.

Skenario ketiga yakni Jong Un sudah meninggal atau tidak mampu memerintah. Media Cina Weibo menyatakan, tanda-tanda mencurigakan mengenai kondisi Korut yang berbatasan langsung dengan Cina, yang mungkin saja mengonfirmasi Jong Un memang benar meninggal. Salah satu indikatornya, kejanggalan keputusan Korut menghentikan keberangkatan kereta dari Cina menuju Korut. Beberapa media Hong Kong seperti HKTV (yang dikenal sebagai corong pemerintah Cina) mengkonfirmasi Jong Un telah meninggal.

Sementara itu, kemungkinan kehancuran rezim Kim dalam waktu dekat tampaknya tipis karena kepentingan yang tumpang tindih antara keluarga Kim dan elit politik, ekonomi, dan militer di sana. Terlebih lagi Jong Un selama ini telah membersihkan orang-orang yang dianggap berpotensi menjadi musuh politik dan berniat mengudetanya. Salah satunya, tentu saja sang saudara tiri, Kim Jong Nam, yang dibunuh di Kuala Lumpur.

Meski demikian, keberlangsungan rezim Korut sangat bergantung pada Cina. Sekitar 80% perdagangan Korut dilakukan dengan Cina. Di sisi lain, Cina menjadi zona penyangga demi menghadapi Korsel yang adalah sekutu AS dan menjadi markas pangkalan militer Amerika. Penyatuan Korea diyakini tak akan menguntungkan pihak Cina. Sebab jika keduanya bersatu, maka AS bisa lebih dekat lagi menjangkau area Cina.

Flora Libra Yanti