Home Internasional Krisis Minyak Ketiga Amerika Serikat

Krisis Minyak Ketiga Amerika Serikat

Harga minyak minus akibat krisis COVID-19. Presiden Trump ingin membeli 75 juta barel minyak tambahan walau tangki sudah penuh. Perusahaan minyak AS akan dibayar untuk stop produksi. 


Pandemi COVID-19 membuat perusahaan minyak terperosok ke jurang terdalam. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei ditutup minus US$37,63 per barel pada Senin, 20 April lalu. Ini merupakan harga terendah sepanjang masa dan pertama kalinya harga WTI berada di angka negatif.

Angka ini memecahkan rekor harga di bawah US$10 per barel pada 1986 silam. Rekor tersebut terjadi akibat surplus pasokan minyak di pasar, padahal konsumsi sedang turun karena seluruh dunia berkutat untuk bangkit dari krisis energi. Alhasil, industri migas yang telah berjaya malah tenggelam ke dalam resesi, membuat puluhan perusahaan terancam bangkrut. 

Krisis minyak yang pertama dan kedua terjadi pada periode 1970-an, tepatnya tahun 1973 ketika Arab mengembargo ekspor minyak. Harga minyak saat itu langsung melonjak tinggi dan mengakibatkan resesi ekonomi global. Krisis kedua terjadi di 1979 ketika revolusi Iran kembali menyulut resesi global.

Berkaca dari pengalaman itu, pemerintah AS selama puluhan tahun ini memfokuskan kebijakan mereka untuk memastikan krisis minyak 1970-an tidak akan terjadi lagi. Mereka menyiapkan cadangan nasional untuk menyokong pasar. Mereka juga memastikan selalu ada persediaan minyak demi memenuhi kebutuhan tinggi kendaraan bermotor dan truk pengangkut barang. 

Namun, rekor produksi AS menyentuh angka tinggi pada akhir tahun lalu. Akibatnya, tangki-tangki penyimpanan juga telah dipenuhi minyak. Maka, Washington berniat melakukan sejumlah strategi untuk mendorong harga minyak naik demi kestabilan industri energi.

"Kemampuan pemerintah AS untuk secara mendasar mengubah situasi ini, masih belum maksimal. Masalah sebenarnya, yakni fakta bahwa penurunan permintaan minyak sekitar 20% secara global, terutama terkait dengan lockdown akibat virus corona," sebut analis pada Raymond James & Associates, Inc., Pavel Molchanov, seperti dilaporkan Politico.

Kini, saat harga minyak anjlok ke titik terendah dalam sejarah, Presiden Donald Trump meyebutnya sebagai saat yang sangat baik untuk membeli minyak. "Masalahnya, yaitu di mana pun di dunia, tidak ada orang yang mengendarai mobil saat ini. Penurunan harga minyak itu sebagian besar tekanan keuangan," ujarnya kepada wartawan.

Trump berupaya menambah sebanyak 75 juta barel minyak ke Cadangan Strategis Minyak (Strategic Petroleum Reserve/SPR). "Jika kita bisa membelinya tanpa biaya, kita akan membeli semua yang ada," ujarnya, seperti dikutip dari VOA.

Trump juga mengatakan, AS sedang berupaya menghentikan pengiriman minyak dari Arab Saudi. Mereka yang telah menandatangani kontrak untuk Mei pada Selasa, 21 April lalu, harus mengatur sendiri pengiriman minyak mereka. "Ini akan meningkat dan bisnis energi akan kuat," ia memprediksi. Ia mencatat, jenis minyak mentah lainnya masih diperdagangkan di atas US$25 per barel.

Sebelumnya, Trump dipuji sejumlah pihak karena membantu mendorong Rusia dan Arab Saudi untuk mengakhiri kebuntuan pasar dan mengurangi pengiriman minyak mentah. Pada Minggu, 12 April silam, kedua negara ini memimpin OPEC+ untuk menyepakati pengurangan produksi mencapai 9,7 juta barel minyak per hari (bph). Namun, pemotongan produksi ini baru berlaku pada 1 Mei nanti. Ini berarti, harga jangka menengah masih terancam tak stabil, sedangkan para produsen masih harus berkutat selama beberapa minggu ini untuk menemukan tangki penyimpanan minyak produksi mereka.

Salah satu juru bicara Gedung Putih menyatakan, semua informasi terkait kondisi ini berasal dari Konsil Keamanan Nasional (National Security Council). Namun, baik konsil tersebut maupun Departemen Energi menolak berkomentar soal kondisi harga minyak.

***

Beberapa waktu lalu, parlemen menolak permintaan dana sebesar US$3 miliar yang diajukan Departemen Energi untuk membeli tambahan stok minyak demi memenuhi tangki yang merupakan bagian dari SPR. Departemen Energi pun mengubah taktik dan kini mengizinkan perusahaan swasta menyewa tangki berkapasitas 30 juta barel.

Namun, jumlah itu serta 47 juta barel lainnya yang mungkin mengalir ke penyimpanan federal dalam beberapa minggu mendatang, tidak akan banyak membantu peningkatan produksi tambahan. Rata-rata perusahaan swasta menambahkan lebih dari 2 juta barel per hari ke tangki penyimpanan mereka.

Muncul berkas yang menyatakan pemerintahan Trump sedang mempertimbangkan membayar perusahaan minyak agar tidak memompa minyak untuk sementara waktu. Dengan demikian, pemerintah AS akan mengklasifikasikan ulang sejumlah cadangan yang belum dipompa demi menstabilkan SPR. Tentu saja hal ini ditanggapi dingin oleh para eksekutif perusahaan migas. 

Direktur utama perusahaan minyak Canary LLC, Dan Eberhart, menolak pembicaraan soal pembayaran terhadap sejumlah perusahaan migas demi tidak melakukan pengeboran. Ia menilai, ini merupakan "kepalsuan". "Gelombang besar kebangkrutan siap melanda sektor ini," ujarnya.

Harga minyak mentah berjangka di AS untuk perdagangan Mei dihargai US$6 per barel. Para trader dipaksa untuk mengeluarkan investasi mereka sebelum kontrak berakhir. Kontrak aktif untuk Juni dihargai di level US$2,50 sampai US$22,60 per barel.

Para petinggi industri ini yang telah bertemu dengan pihak Gedung Putih sebelumnya mengatakan, pejabat administrasi telah meyakinkan Arab Saudi bahwa pemerintah federal tidak akan secara langsung membantu perusahaan minyak dan gas AS. Sebaliknya, pemerintah akan membiarkan kondisi pasar mendorong keputusan bisnis untuk mengurangi kelebihan pasokan di pasar.

OPEC, Rusia, dan sekelompok produsen lain sepakat untuk memangkas produksi sebesar 9,7 juta bph mulai Mei. Adapun produsen di AS dan Kanada diminta menutup sumur yang diperkirakan akan menghapus jutaan barel lagi dalam beberapa bulan mendatang. Ini berlaku sampai pasokan itu menyusut atau ada rebound dalam permintaan global. Diperkirakan akan terjadi penurunan produksi 20-30 juta bph. Namun, tetap saja kemungkinannya kecil bagi industri akan kembali ke pijakan yang kokoh.

Kondisi makin buruk ketika sejumlah kapal tanker minyak diketahui meninggalkan Arab Saudi menuju AS, saat kesepakatan itu belum ditandatangani. Tentu saja, pasokan minyak itu akan makin menekan kapasitas di AS, kecuali negara lain membelinya sebelum mereka mencapai AS.

Hitung-hitungan sejumlah pihak, industri migas AS akan menghasilkan rekor tinggi produksi minyak tahun ini. The Guardian menulis, beberapa bulan lalu Cekungan Permian diperkirakan akan meningkatkan produksi minyaknya ke ketinggian baru, yakni 4,8 juta bph. Ini semua merupakan rangkaian memacu seluruh pasar AS ke rekor tingkat produksi harian 9 juta bph pada 2020.

Flora Libra Yanti