Khresna Bayu Sangka, PhD
Kepala Pusat Studi Transparansi Publik dan Antikorupsi
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Warga internet, atau lazim disebut netizen khususnya warga Kabupaten Klaten heboh ketika muncul trending topic di media sosial Twitter #bupatiklatenmemalukan. Ya, bupati di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah dengan ibukota yang berada di antara Solo dan Yogya ini tiba-tiba jadi isu nasional, ketika di internet muncul gambar hand sanitizer bantuan Kementerian Sosial dibagikan ke masyarakat dengan balutan stiker bergambar sang Bupati Klaten, berseragam dinas lengkap sembari mengepalkan tangan.
Publik geger. Kritikan pun diarahkan kepada Bupati Sri Mulyani yang awalnya adalah wakil bupati hasil Pilkada 2015 yang dilantik untuk menggantikan bupati terpilih, Sri Hartini yang berhenti, akibat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu yang lalu.
Munculnya stiker gambar sang bupati yang sepertinya ingin menonjolkan eksistensinya, memang bukan hal yang pertama. Bupati Sri Mulyani, bisa dikatakan memiliki cara yang unik dalam mengomunikasikan program kerja, kebijakan, ataupun kegiatan yang melibatkan pemerintah daerah secara kelembagaan yang disinyalir bercampur dengan agenda pribadi.
Ia sangat suka untuk memampang program kerjanya lengkap dengan foto wajah, gambar setengah badan, atau sebadan penuh dengan berbagai gaya dan busana. Untuk baliho, pamflet, stiker, sampul buku dan lain-lain. Bisa jadi, karena jiwa muda yang menggelora dan cenderung narsistiklah yang membuat fotonya terpampang luas seantero Klaten.
Atau gaya ini ada kemungkinan juga dipicu kecenderungannya untuk memperpanjang dinasti kepemimpinannya. Karena tahun 2021 akan diselenggarakan pilkada yang notabene, Sri Mulyani juga punya kesempatan tampil dalam kontestasi ini sebagai incumbent. Perlu diingat, Klaten 20 tahun terakhir dipimpin politisi dari dua keluarga saja. Keluarga Sri Mulyani dan keluarga Sri Hartini.
Kembali ke jagat dunia maya, kemunculan hand sanitizer yang diperuntukkan sebagai bantuan kepada manyarakat dengan tempelan stiker bupati Klaten, tentu memicu protes. Karena fenomena ini bisa dikatakan sebagai praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), menunggangi kepentingan publik untuk tujuan lain dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki. Tentu saja kejadian ini menjadi indikasi munculnya praktik korupsi dalam penanganan bantuan saat bencana.
Karenanya, perlu diingatkan tak hanya kepada Sri Mulyani tapi juga kepala daerah di Indonesia, perlunya transparansi pengelolaan bantuan bencana (dari sumber mana pun) yang dikomunikasikan dengan jujur dan jelas kepada masyarakat luas supaya tujuan dari pemberi bantuan tersebut dapat tersampaikan apa adanya. Proses yang dilakukan secara kontinyu ini merupakan salah satu ciri good governance yang bermuara pada tata laksana pemerintahan yang bersih, sehat, dan nirkorupsi.
Tak terkecuali pada masa pandemi saat ini, muncul berbagai revisi dan rekonstruksi peraturan, dimana Presiden Joko Widodo telah resmi menetapkan penyakit akibat virus corona atau COVID-19 sebagai bencana nasional. Penetapan tersebut membawa berbagai implikasi terutama pada penghematan anggaran.
Revisi penghematan ini telah disesuaikan berdasarkan kemampuan penyerapan daerah. Sebagai upaya untuk menangani Pandemi Covid-19, pemerintah pusat menambah anggaran belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Covid-19, salah satunya melalui anggaran Dana Desa Tahun 2020. Hal tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia menyatakan, Dana Desa yang selama ini digunakan untuk kepentingan pengembangan ekonomi serta pemberdayaan masyarakat desa, sementara ini bisa direalokasikan untuk penanganan Covid-19 di desa-desa.
Realokasi Dana Desa berfokus pada tiga alokasi utama yaitu pembentukan Desa Tanggap COVID-19 dan membentuk Relawan Desa Lawan COVID-19, Pola Padat Karya Tunai Desa (PKTD), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Realokasi anggaran Dana Desa ini akan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Tahun Anggaran 2020.
Masalah selanjutnya yang muncul atas realokasi tersebut adalah bagaimana transparansi dan akuntabilitas atas realokasi anggaran dana desa pada anggaran Penanggulangan Bencana, Darurat dan Mendesak Desa. Keseluruhan pengelolaan dana ini pasti akan bertumpu pada bupati kepala daerah untuk pengelolaan dan teknis lapangannya. Sebuah tantangan yang berat sekaligus menggoda khususnya bagi kepala daerah yang ingin meningkatkan popularitasnya.
Jadi semoga Bu Mulyani segera sadar atas tindakannya. Dan semoga apa yang dilakukannya bukan semata-mata untuk mendapatkan publisitas (persiapan pilkada) namun lebih kepada tanggung jawab seorang Bupati kepada rakyatnya. Di sisi lain, harus diingat, rakyat sudah teredukasi dengan baik, khususnya untuk masalah memilih pemimpin yang amanah dan tidak narsis.