Pekanbaru,Gatra.com - Simpang siurnya data penerima bantuan COVID-19 di kota Pekanbaru menunjukan adanya persoalan serius dalam pendataan penduduk di Ibukota Provinsi Riau. Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarief Kasim, Elfiriadi, persoalan yang ada di Pekanbaru sejatinya bisa menggambarkan problem serupa di Tanah Air. "Indonesia kan nggak pernah terjadi sinkronisasi data, kita anggap selama ini data itu biasa, akhirnya ini menyangkut nyawa dan menyangkut yang lain (bantuan),"sebutnya kepada Gatra.com, Senin (27/4).
Ia menambahkan, tidak sinkronnya data antara level pemerintahan menggambarkan adanya persoalan serius dalam perekapan data. Oleh sebab itu dia berharap setiap level pemerintahan menunjuk sosok yang kompoten dalam mengumpulkan dan merekap data. "Kita takutnya dengan data yang simpang siur, bantuan menumpuk pada satu orang. Nah, kalau terjadi double yang kena itu seharusnya bukan warga saja, pejabat yang mendata mestinya juga kena," tukasnya.
Diketahui, data calon penerima bantuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Pekanbaru sempat membengkak menjadi sekitar 130 Ribu Kepala Keluarga (KK). Data tersebut kemudian menciut setelah Kementerian Sosial memberikan arahan, dimana bantuan diprioritaskan kepada warga berpenghasilan rendah.
Adapun Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Pekanbaru Chairani menyebut membengkaknya data bantuan PSBB, lantaran PNS serta warga berpenghasilan besar juga termasuk di dalamnya. Bahkan, kata dia, dalam satu rumah ada yang mengisi lebih dari satu blangko. "Kenapa membengkak, karena PNS juga isi. Yang penghasilan perbulan Rp10 juta, Rp20 juta juga isi (blangko). Ada yang satu rumah itu, Suami, Istri dan anak juga isi blangko,"tekannya.