Jakarta, Gatra.com – Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengkritik penanganan wabah Covid-19 yang menurutnya tidak karuan. Dia mencontohkan, kebijakan larangan mudik yang baru saja dikeluarkan, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang belum berjalan efektif, hingga terlambatnya penanganan rapid test.
“Kita tidak pernah tahu, serba tanggung, mudik sudah jutaan (orang) keluar baru dilarang. PSBB di Jakarta kita lihat kemarin kebetulan saya wajib ke rumah orang tua, macet di Pancoran, seperti tidak ada apa-apa,” katanya dalam diskusi Ongkos Ekonomi Hadapi Krisis Covid-19, di Jakarta, Jumat (24/4).
Karena penanganan yang tak karuan itu, membuat para ahli, khususnya ahli virus semakin susah untuk memprediksi kapan wabah akan selesai. Begitu juga dengan para ekonom, yang juga semakin kesulitan untuk memprediksi akan seberapa besar pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini.
Di sisi lain, dengan penangan yang tak karuan itu, lanjut Faisal, dapat membuat ongkos yang harus dibayarkan pemerintah semakin besar. Sedangkan Indonesia sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menggelontorkan dana stimulus yang sangat besar, seperti yang telah dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.
“Kita tidak punya kemampuan. Jangan dilihat defisit APBN pemerintah yang naik 5,07 persen sebagai suatu stimulus. Tidak. Defisit 5,8 itu lebih disebabkan karena penerimaannya anjlok, jadi peningkatan belanja itu cuma Rp73,4 triliun, penerimaan negaranya anjlok Rp472 triliun. Jadi praktis tidak ada stimulus sebetulnya,” jelasnya.
Meski, Faisal mengapresiasi salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah, yakni Kementerian PUPR. Menurutnya, langkah menteri PUPR untuk membeli karet rakyat dengan harga sekitar Rp100 miliar, untuk kemudian digunakan untuk pembangunan jalan adalah suatu langkah inovatif.
“Jadi di satu pihak dia membantu rakyat lewat stimulus beli karetnya, nah entar digunakan untuk pembangunan jalan yang produktif untuk investasi,” tandasnya.