Jakarta, Gatra.com - Pemerintah dinilai kurang cermat dalam mengelola anggaran negara dengan alasan alokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 di Indonesia. Akibatnya terjadi peningkatan defisit APBN yang bila tidak dikontrol, angkanya akan curam lebih jauh. Anggota Banggar DPR RI, Sukamta menyatakan kejanggalan itu terlihat dalam anggaran perubahan berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN TA 2020.
Awalnya APBN 2020 sejumlah Rp2.540 trilliun kemudian terjadi penambahan belanja sebesar Rp73 trilliun sehingga APBN menjadi Rp2.613 trilliun. “Gara-gara ugal-ugalan dalam pengelolaan keuangan negara terjadi peningkatan defisit APBN dari Rp397 trilliun atau 1,76 persen dari PDB menjadi Rp852 trilliun 5,07 persen dari PDB,” ujarnya. Ia memperkirakan defisit anggaran akan semakin besar 10-15% jika tidak ada penghematan, belanja negara bertambah sementara penerimaan negara semakin menurun.
“Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah selama ini jika terjadi defisit anggaran maka pemerintah memilih langkah yang mudah yaitu berutang untuk menutupinya. Padahal tahun ini saja pemerintah harus membayar cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp105 trilliun,” tutur Sukamta dalam keterangan diterima Gatra.com, Kamis (23/4).
Dirinya mengatakan dalam skema APBN 2020, pembiayaan anggaran dari utang sebesar Rp351 trilliun kemudian membengkak 3 kali lipat menjadi Rp1.006 trilliun. Ia mewanti agar kebijakan tersebut tidak membawa dampak ekonomi, pemerintah menurutnya perlu juga menjelaskan pengelolaan utang tersebut untuk kegiatan modal produktif atau konsumtif, harus jelas pengalokasiannya.
Baca juga: Presiden PKS: Selamatkan Ekonomi Dengan Menyelamatkan Warga!
“Penambahan pembiayaan dari utang membuat ruang fiskal Indonesia semakin terbatas ke depannya karena utang semakin menumpuk akibatnya pemerintah akan kesulitan likuiditas. Utang yang semakin besar dan bertenor panjang akan membebani generasi yang akan datang,” ucap legislator DPR asal Dapil Yogyakarta itu.
Sukamta mengingatkan per Maret 2020 telah terjadi defisit APBN sebesar Rp76,4 triliun akibat dari realisasi pendapatan negara lebih rendah belanja negara. Pada Maret 2020, pendapatan negara baru mencapai Rp375,9 triliun sedangkan pemerintah telah mengeluarkan Rp452,3 trilliun untuk belanja.
“ Pemerintah mengakali defisit anggaran dan untuk membiayai kebutuhan pemerintah yang lahirlah Perppu yang ugal-ugalan juga. Besaran defisit APBN pun melampaui tiga persen dari PDB artinya terjadi pelanggaran Pasal 17 (3) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Perppu 1 /2020 kemudian mengubah batas defisit anggaran negara melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB), bahkan tidak ada batas atasnya,” jelas doktor lulusan University of Salford ini.
Dirinya berpesan agar langkah yang diambil pemerintah harus fokus pada penyelesaian Covid-19 bukan semata pada masalah ekonominya. Setelah pandemi Covid-19 selesai, fokus berikutnya dapat dialihkan ke pemulihan ekonomi. “Jika pemerintah tidak segera menyelesaikan masalah Covid-19 kemudian membuat langkah-langkah strategis dengan target waktu yang jelas, maka kebijakan mengembalikan kondisi ekonomi akan sia-sia. Padahal efek Covid-19 diperkirakan bisa melebihi krisis moneter 1998, sehingga penerimaan negara akan semakin menurun dari perkiraan,” pungkasnya.