Jakarta, Gatra.com - Tujuh organisasi kemasyarakatan meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) membebaskan warga binaan yang masuk dalam kelompok rentan atau dengan tingkat risiko tinggi terpapar coronavirus disease (Covid)-19.
Kelompok ini yakni narapidana lanjut usia (lansia), ibu hamil atau dengan anak, anak, warga binaan pemasyarakatan (WBP) dengan penyakit bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis atau serius, WBP dengan kondisi gangguan jiwa yang serius, serta pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas.
"Khusus untuk pengguna narkotika, pandemi Covid-19 harus jadi momentum pemerintah untuk memperbaiki kebijakan narkotika yang membebani negara selama ini," demikian keterangan tertulis 7 ormas yang diterima Gatra.com di Jakarta, Rabu (22/4).
Dalam catatan ketujuh ormas ini yakni ICJR, IJRS, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, Rumah Cemara, dan Yakeba?, per Maret 2020 jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, kapasitas rutan dan lapas hanya dapat menampung 132.335 orang.
Dari angka tersebut, beban rutan dan lapas di Indonesia mencapai 204%. Jika kita lihat dari jumlah WBP, per Maret 2020, 55% WBP berasal dari tindak pidana narkotika, sebanyak 38.995 WBP merupakan pengguna narkotika. Bahkan sebelumnya, di Februari 2020, 68% WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan pengguna narkotika yang dipaksa untuk mendekam di penjara mencapai 47.122 orang.
Meskipun UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah merumuskan dalam beberapa pasal soal pentingnya pendekatan kesehatan, namun kebijakan narkotika di Indonesia telah gagal memastikan upaya pendekatan kesehatan tersebut dalam penanggulangan dampak penggunaan narkotika.
Indonesia lebih memilih pendekatan perang terhadap narkotika, dengan mengedepankan pemidanaan yang secara global sudah diakui gagal menyelesaikan masalah dampak penggunaan narkotika.
Pengaturan pasal karet pidana dalam UU Narkotika tidak mampu menjamin pengguna narkotika tidak dikriminalisasi dan pencadu diberikan jaminan rehabilitasi. Riset LBH Masyarakat (2014) menunjukkan pengguna narkotika yang dijatuhi dengan vonis rehabilitasi kurang dari 30%.
Riset ICJR, Rumah Cemara dan EJA pada 2015 di PN Surabaya menyatakan hanya 6% putusan hakim yang menempatkan pengguna narkotika ke tempat rehabilitasi.
"Penjara jelas memperburuk kondisi kehidupan pengguna dan pecandu narkotika karena dalam Lapas tidak tersedia pelayanan kesehatan yang memadai, apalagi di tengah kondisi overcrowding," ujarnya.
Penelitian Stevens (2019), Hughes (2018), dan UNODC (2010) menyimpulkan bahwa promosi hukuman tidak memiliki dampak mengurangi penggunaan narkotika. Pada negara yang memberlakukan hukuman yang keras terhadap kepemilikan dan penggunaan narkotika untuk konsumsi sendiri tidak mengurangi penggunaan narkotika dalam masyarakat ketimbang negara yang mengatur hukuman lebih ringan.
Laporan World Drug Report 2019 UNODC pun menyebutkan bahwa sejak 2009 sampai 2016, secara global permasalahan penggunaan narkotika cenderung stabil, peningkatan penggunaan narkotika hanya sebesar 30% yang merupakan dampak dari pertambahan penduduk.
Banyak studi juga telah menyatakan bahwa risiko kesehatan pengguna narkotika lebih besar setelah keluar penjara. Pendekatan kesehatan berbasis harm reduction perlu diprioritaskan kepada pengguna dan pecandu narkotika sesuai dengan rekomendasi beberapa organisasi PBB yang menentang pendekatan penghukuman bagi pengguna narkotika.
Pengeluaran WBP pengguna narkotika pun sudah disuarakan oleh Menteri Hukum dan HAM jauh-jauh hari lalu. Karena kondisi overcrowding yang sudah sangat membebani, Menteri Hukum dan HAM pada 27 April 2019 meminta pengguna narkotika tidak dipenjara. Bahkan sudah diserukan wacana untuk memberikan amnesti massal kepada pengguna narkotika pada November 2019 lalu.
Dalam tataran kebijakan, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan juga telah diterbitkan aturan yang memberi peluang pengguna dan pecandu narkotika dihindarkan dari pemenjaraan. Artinya, secara politik hukum Pemerintah memiliki segala legitimasi hukum, dapat dengan mudah dan sangat beralasan untuk mengeluarkan dan membebaskan WBP tindak pidana narkotika.
Perlu ditekankan bahwa kasus narkotika adalah tindak pidana tanpa kekerasan, tidak semua pengguna narkotika mengalami ketergantungan atau adiksi, sehingga tidak semua pengguna narkotika memerlukan rehabilitasi. Pun untuk pengguna narkotika dengan adiksi, rehabilitasi tidak hanya dalam bentuk rawat inap, rehabilitasi bisa dilakukan dengan rawat jalan, kunjungan rutin ke pelayanan kesehatan, konseling rutin offline maupun online, termasuk terapi substitusi yang telah diatur institusi penanggung jawabnya.
Sebagai catatan, penghuni rutan dan lapas harus dikurangi untuk mencegah risiko peyebaran Covid-19. Dan kebijakan narkotika jelas menyumbangkan banyak penghuni rutan dan lapas yang seharusnya tidak dipidana sedari awal. Maka untuk itu, Pemerintah perlu menyegerakan pengeluaran dan pembebasan WBP pengguna narkotika.
Adapun langkah-langkah untuk mengeluarkan para pengguna narkotika dari lapas dan rutan, pertama; lakukan assessment atau penilaian kesehatan termasuk penilaian derajat keparahan penggunaan napza dan risiko yang akuntabel dan komprehensif, termasuk penilaian adiksi dan risiko pada semua WBP yang berasal dari kebijakan “rancu” narkotika.
Dalam hal ini, banyak pengguna dan pecandu narkotika dijerat dengan pasal penguasaan dan kepemilikan UU Narkotika yang menyebabkan mereka diklasifikasikan sebagai “bandar” dan dijatuhi hukuman di atas 5 tahun penjara.
"Kedua, pastikan WBP yang berasal dari tindak pidana narkotika yang murni sebagai pengguna dikeluarkan," katanya.
Ketiga, pastikan WBP dengan adiksi dikeluarkan dengan memperoleh surat rujukan yang menujuk lembaga kesehatan terdekat untuk melakukan rehabilitasi atau tindakan pengawasan lainnya.
Rutan dan lapas dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat dan dinas kesehatan setempat, dalam hal ini puskesmas untuk pelaksanaan rehabilitasi atau tindakan pengawasan lainnya.