Jakarta, Gatra.com – Presiden Joko Widodo akhirnya melarang seluruh warga mudik ke kampung halaman tahun ini. Warga yang dilarang mudik adalah mereka yang berasal dari daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta daerah pusat wabah (zona merah) Covid-19. Larangan tersebut berlaku mulai 24 April dan sanksi akan diberlakukan bagi mereka yang bersikeras mudik pada 7 Mei mendatang.
Sebelumnya Jokowi hanya melarang, ASN, TNI-Polri, dan karyawan BUMN untuk tidak mudik. Namun kemudian pemerintah meluaskan larangan tersebut kepada seluruh warga dengan dispensasi bantuan sosial (Bansos) berupa sembako dan bantuan langsung tunai. Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta menyatakan larangan mudik oleh pemerintah sedikit terlambat. Pasalnya sebelum keputusan itu dibuat sudah banyak warga yang melakukan migrasi atau pulang ke kampung halaman.
“Sudah agak terlambat, tapi lebih baik daripada sangat terlambat, karena berdasar data dari Kementerian Perhubungan sudah ada sekitar 900 ribuan warga Jabodetabek yang terlanjur mudik duluan. Ini bukan angka yang kecil. Artinya, potensi penyebaran virus ke daerah-daerah sudah terjadi dengan curi start mudik ini,” ujar Sukamta dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Rabu (22/4).
Ia mengatakan kebijakan untuk larangan mudik merupakan kewenangan dari pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tak berkutik untuk melarang warga mudik saat pandemi corona berlangsung. “Keputusan ada di Pemerintah pusat. Tolonglah pemerintah lebih tegas dan komprehensif dalam mengambil keputusan yang berakibat pada nyawa warga negara. Semoga tidak ada ralat lagi dari jubir Presiden atau Mensesneg. Jangan sampai kita mendengar keputusan yang mencla-mencle, yang diralat bolak-balik,” kritiknya.
Anggota Komisi I DPR RI itu menjelaskan bahwa harusnya sejak awal pemerintah sudah harus memiliki kesigapan dan membuat grand design penanggulangan pandemi Covid-19. “Kita sudah tahu pola penyebaran Covid 19, baik transmisi import maupun lokal. Pemerintah juga sudah mendapatkan masukan dari berbagai sumber, salah satunya dari lembaga intelijen negara (BIN) yang memprediksikan puncak penyebaran di awal Mei dengan jumlah kasus 95 ribu positif Covid-19 sampai Juli yang mencapai kasus positif sebanyak 106 ribu,” katanya.
Menurutnya semua prediksi sudah dibuat dan telah terjadi gelombang penyebaran pertama ketika arus mudik bulan lalu. Di beberapa daerah, terang Sukamta, dikenal tradisi ziarah sya’ban/ruwah atau dalam tradisi Jawa disebut nyadran. “Kemarin sudah terbukti penularan orang mudik, tanpa sadar membawa virus atau OTG (orang tanpa gejala), membuat acara kumpul-kumpul di kampung halaman dan terjadi penularan. Kasus itu terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Seharusnya pemerintah sejak awal lebih tanggap dengan prediksi-prediksi ini”.
Dirinya mengutip data dari Kementerian Perhubungan bahwa terdapat potensi ancaman dari 1,3 juta warga yang akan mudik. Mereka berpotensi akan menyebar ke beberapa daerah: Jawa Barat 13%, Jawa Tengah-DIY 41%, Jawa Timur 20%, Sumatera Selatan dan Lampung 8%. “Jumlah 1.3 juta ini bisa menjadi ancaman munculnya daerah episentrum baru penyebaran Covid-19, apalagi masih banyak yang berpotensi akan mudik ke daerah-daerah yang sudah didatangi oleh 900 ribu orang yang curi start mudik tadi”.
Doktor lulusan University of Salford, Inggris itu menjelaskan bahwa perantau Jakarta pulang ke kampung halaman bisa menjadi media penular (carrier) atau tertular. Hal itu akan meningkat jumlahnya ditambah arus balik yang kemungkinan berpotensi menjadi kasus penularan baru. “Jangan lupa juga, kedatangan mahasiswa ke kota-kota besar dengan jumlah kampus banyak seperti DIY, Bandung, Surabaya, Malang, Medan dan Jakarta untuk masuk kuliah tahun ajaran baru sebelum pandemi ini selesai, juga berpotensi menjadi gelombang penyebaran berikutnya,” katanya.
Menurutnya potensi penyebaran dan penularan dari 1,3 juta calon pemudik harus segera dicegah. “Saya berharap pemerintah pusat punya ketegasan, decisive terhadap larangan mudik ini, sampai pandemi selesai. Masalah ikutan bagi yang tidak bisa pulang kampung, atau bagi kalangan dunia usaha moda transportasi umum yang terdampak kebijakan, tolong dikoordinasikan antara pemerintah pusat dengan daerah,” tutup wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.