Presiden Donald Trump menuding, virus corona merupakan buatan laboratorium Wuhan. Ia juga meminta penghentian donasi bantuan ke WHO. Angka kematian akibat virus corona di AS kini tertinggi di dunia, lebih dari 40.000 kasus. Namun ribuan orang demonstrasi menolak lockdown.
Perang Amerika Serikat (AS) terhadap virus corona belakangan ini fokusnya bukan pada penanganan, melainkan konflik tak berkesudahan dengan pihak ketiga. Ini terjadi ketika Presiden Donald Trump mulai mengotot agar para penginvestigasinya bisa melakukan penyelidikan langsung di Cina untuk mengetahui tentang penyebaran virus corona.
"Kami sedang berbicara dengan Cina. Kami sudah lama berbicara dengan mereka. Kami ingin masuk," ujar Trump dalam pengarahan satuan tugas virus corona, akhir pekan lalu.
Dilansir Fox News, Trump mengisyaratkan soal kemungkinan COVID-19 bukan berasal dari hewan liar, melainkan dari laboratorium virologi di Wuhan, Cina. "Apakah itu kesalahan yang lepas kendali atau itu dilakukan dengan sengaja?" Trump mengatakan hal itu Sabtu pekan lalu.
Trump mempertanyakan asal-usul penyakit menular yang pertama kali muncul di Kota Wuhan pada Desember tersebut. "Jika mereka secara sadar bertanggung jawab, ya, maka harus ada konsekuensi," ia menambahkan.
Namun pihak Cina tentu saja membantah. "Tidak mungkin virus ini datang dari kami," kata Kepala Laboratorium di Institut Virologi Wuhan, Yuan Zhiming. Laboratorium ini diperlengkapi untuk menangani virus berbahaya. "Aku tahu itu tidak mungkin."
Selain bersitegang dengan Cina, Trump juga berselisih dengan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Trump mengumumkan pada Selasa malam, 14 April lalu, bahwa ia menghentikan pendanaan kepada WHO selagi pihaknya mengecek ulang strategi WHO dalam menangani virus corona.
AS menuduh WHO ceroboh merespons penyakit baru ini dan gagal mengomunikasikan ancaman yang ditimbulkannya. Namun sebelum keputusan itu resmi diumumkan, sesungguhnya perang antara Trump dan WHO sudah berlangsung selama berminggu-minggu. Media opini Politico menulis, serangan Trump terhadap WHO dilakukan ketika ia berusaha untuk mengelak dari kritik atas lambatnya pemerintah AS dalam merespons COVID-19.
Seperti diketahui, WHO selama ini didanai oleh seluruh 194 negara anggotanya. Besarnya kontribusi bergantung pada kekayaan negara, jumlah populasi, dan dana yang sukarela diberikan. AS adalah penyumbang dana nomor satu di WHO. Tiap tahun, AS menggelontorkan sekitar satu persen dari anggaran negara ke WHO, yakni US$400 juta (sekitar Rp6,2 triliun). Di posisi berikutnya, ada Inggris (Rp6,13 triliun), Jerman (Rp3,7 triliun), Jepang (Rp2,1 triliun), dan Kuwait (Rp1,4 triliun).
Dengan kata lain, jika US$400 juta hilang dari anggaran tahunan WHO yang sebesar US$4,8 miliar, tentu akan menjadi pukulan besar. Mengingat lembaga ini memiliki banyak pekerjaan rumah, mulai dari melakukan uji coba vaksin, mendistribusikan alat tes, sampai memberi saran kepada pemerintah di seluruh dunia.
Padahal, saat ini, setidaknya ada dua juta orang di seluruh dunia mengidap penyakit yang masih belum ada obat dan vaksinnya. "Dengan merebaknya pandemi COVID-19, kami memiliki keprihatinan yang mendalam, apakah kemurahan hati Amerika telah dimanfaatkan sebaik mungkin," Trump mengkritik.
***
Tentu saja, keputusan Trump ditetang keras para pelaku medis di AS. "Memerangi pandemi global membutuhkan kerja sama internasional dan ketergantungan pada sains dan data," kata Presiden American Medical Association, Patrice Harris. Ia mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali penarikan dana itu.
“Ini adalah kejahatan atas kemanusiaan. Setiap ilmuwan, setiap pekerja medis, setiap warga negara harus melawan dan menentang pengkhianatan atas solidaritas global ini,” tulis pimpinan jurnal medis Lancet, Richard Horton.
Namun Trump bergeming. Ia menuduh WHO sangat salah mengelola dan menutupi penyebaran virus corona. Ia juga mengingatkan ketika bulan-bulan awal pandemi merebak, saat AS mengumumkan pembatasan perjalanan ke Cina, yang dinilai WHO merupakan sebuah bencana.
WHO tak menampik, mereka pernah mengatakan pelarangan perjalanan tidak efektif pada kebanyakan situasi macam ini. Namun, mereka membela diri, bahwa justru negara-negara mendapat tambahan waktu untuk memulai dan menerapkan langkah-langkah kesiapsiagaan yang efektif.
Penambahan waktu inilah yang dinilai kabinet Trump sebagai suatu kesia-siaan. Akibatnya malah gagal untuk meningkatkan pengujian diagnostik dan mempersiapkan sistem perawatan kesehatan menghadapi lonjakan pasien virus corona. WHO sendiri mendeklarasikan virus corona sebagai darurat kesehatan global pada akhir Januari, pada saat Trump masih meremehkan penyakit ini dan menganggapnya hanya flu musiman.
Trump tidak mengumumkan keadaan darurat nasional hingga pertengahan Maret. Ia malah sempat memuji tindakan awal Cina terhadap pandemi sampai beberapa minggu yang lalu. Ia tetap membela Cina, walau sejumlah pakar kesehatan menilai pemerintahan Xi Jinping masih tidak sepenuhnya mengetahui tentang penyakit baru ini.
***
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyebut WHO sangat penting bagi upaya dunia untuk memerangi virus corona dan mengatakan dunia harus mendukung upaya WHO. "Saat kita nanti bisa melewati masa pandemi ini, kita harus menyediakan waktu untuk melihat ke belakang demi memahami sepenuhnya bagaimana penyakit ini muncul dan menyebar secara sangat cepat di seluruh dunia, serta bagaimana semua pihak yang terlibat bersikap atas krisis ini," tutur mantan PM Portugal itu. "Namun sekarang bukan waktunya."
Di sisi lain, langkah Trump ini sesungguhnya bertentangan dengan rencana kesiapsiagaan pandemi yang dirancang oleh pemerintahannya pada 2017 silam. Dokumen itu mengadvokasi untuk "perluasan koordinasi internasional tentang kesiapsiagaan dan tanggapan pandemi" dan secara khusus menyerukan "dukungan berkelanjutan" bagi WHO.
Namun, sejalan dengan kritik Trump terhadap badan internasional lainnya yang ia klaim telah mengambil keuntungan dari bantuan AS, pemerintahannya berencana memotong donasi ke WHO, bahkan sebelum virus corona diumumkan sebagai pandemi. Anggaran fiskal 2021 yang diterbitkan Gedung Putih dan dirilis pada pertengahan Februari, meminta Kongres untuk memotong bantuan dana ke organisasi internasional lebih dari setengahnya.
Banyak anggota parlemen dari Partai Republik menyerukan pula pengunduran diri Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus. Mereka menuduh WHO menganakemaskan pemerintah Cina, yang mengakibatkan terhambatnya kemampuan WHO untuk mengkritisi pandemi ini.
"WHO telah menjadi lengan propaganda Partai Komunis Cina dan dipenuhi dengan para pembela partai. WHO telah mengecewakan dunia dalam keadaan darurat ini,” kicau Senator Josh Hawley.
Tak hanya di level elite, konflik juga terjadi di akar rumput. Pada hari Minggu, massa pendukung Trump berdemonstrasi di sejumlah titik di AS. Mereka menuntut agar perintah tinggal di rumah (stay at home) dan lockdown disudahi. Alasan mereka, peraturan itu mengguncang ekonomi. Terlihat ada ratusan orang berdemo di Denver, Colorado. Demikian pula di beberapa negara bagian lain seperti Texas, Wisconsin, Ohio, Minnesota, Michigan, dan Virginia. Aksi terbesar berlangsung di Olympia, Ibu Kota Negara Bagian Washington.
Setidaknya, 2.500 orang turun ke jalan menentang kebijakan social distancing yang diberlakukan Gubernur asal Partai Demokrat, Jay Inslee. Nyaris semua aksi ini mendapat perlawanan dari para petugas medis yang berdiri di tengah jalan, mengenakan jubah operasi, dan merentangkan tangan mengadang jalan yang dilewati para demonstran.
Data per Minggu, 19 April, jumlah kematian akibat COVID-19 di seluruh Amerika Serikat mencapai 40.661 orang. Angka ini naik 2.000 dalam 24 jam saja. Jumlah ini merupakan level tertinggi di seluruh dunia. Adapun jumlah kasus yang terjadi, yakni 759.086, berdasar data Universitas Johns Hopkins.
Flora Libra Yanti