Jenewa, Gatra.com - Pandemi coronavirus disease 2019 (Covid)-19 menjadi "berkah" tersendiri bagi tunawisma atau gelandangan di Jenewa, Swiss. Mereka bisa merasakan menginap dan tinggal di kamar mewah hotel bintang 3, Bel Esperance.
Bukan hanya menginap dan tinggal di kamar hotel yang dilengkapi kamar mandi pribadi, mereka juga disediakan makanan, televisi, hingga sambungan internet (WiFi) layaknya tamu hotel yang sedang menginap.
Sofiane Rahmani, salah satu tunawisma di Jenewa, mengaku sulit percaya bisa tinggal di hotel berbintang. Betapa tidak, sebelum pandemi Covid-19 melanda, ia hidup di jalanan, atau paling banter berada di tempat-tempat penampungan.
"Itu benar-benar mewah," kata imigran ilegal dari Aljazair berusia 16 tahun tersebut saat berada di Hotel Bel Esperance dikutip dari AFP, Selasa (21/4).
"Berkah" yang mengantarkan para tunawisma atau gelandangan di Jenewa bisa menempati kamar hotel mewah tersebut lantaran pihak hotel memutuskan menggunakan bangunannya untuk menampung para wanita dan pemuda tunawisma guna membantu mereka selama pandemi Covid-19.
Hotel yang terletak di jantung kota tua Jenewa itu, menyediakan 20 kamar untuk wanita tunawisma, 11 di antaranya telah digunakan anak-anak di bawah umur, salah satunya Rahmani yang tidak mempunyai akses untuk mencari suaka di Swiss.
Direktur Hotel Bel Esperance, Alain Meuwly, menyampaikan penyediaan kamar untuk para tunawisma atau gelandangan ini merupakan hal biasa. "Itu terjadi secara wajar," ucapnya.
Meuwly menjelaskan, setelah pemerintah Swiss mulai membatalkan seluruh acara publik dan menutup restoran dan toko untuk menghentikan penyebaran Covid-19 pada awal Maret lalu, pihaknya membatalkan sejumlah 90% reservasi kamar hotel.
Pada saat itu, lanjut Meuwly, relawan dari badan amal Kristen menyampaikan kepadanya bahwa mereka sedang mencari cara aman untuk menampung sekitar 1.000 orang yang kehilangan tempat tinggal di Jenewa.
Penggunaan hotel untuk menampung tunawisma atau gelandangan tersebut karena Swiss tidak mempunyai kebijakan nasional untuk tunawisma, sehingga 26 kanton konfederasi menerapkan pendekatan atau kebijakan sendiri.
Meuwly menyampaikan, proses penggunaan hotel untuk menampung tunawisma ini sangat sederhana. Staf reguler hotel semuanya ditempatkan pada pengangguran sementara dan tim pekerja sosial dibawa untuk mengakomodir penduduk baru yang akan diizinkan tinggal sampai 1 Juni.
Pihak hotel memberikan masker dan disinfektan serta 1 kamar hotel hanya boleh dihuni satu orang. Hanya saja, para tunawisma ini tidak mendapat fasilitas gawai atau tablet dan pembuat kopi yang biasa diberikan kepada tamu hotel bintang tiga. Namun tingkat kenyamanannya tetap sama.
"Karena ini adalah pelanggan yang sedikit berbeda, kami mengeluarkan beberapa gadget yang biasanya Anda temukan di kamar hotel bintang tiga, seperti tablet dan pembuat kopi," ujar Meuwly.
Menurutnya, para tunawisma ini merasakan tingkat kenyamanan yang relatif sama seperti tamu hotel, karena kamar dilengkapi tempat tidur, televisi, dan WiFi. Fasilitas ini yang biasa digunakan tamu hotel. "Itu adalah sesuatu yang tampaknya sangat dihargai semua orang," ungkapnya.
Bangunan yang kemudian menjadi Hotel Bel Esperance, sempat digunakan selama 60 tahun sebagai tempat perlindungan bagi wanita rentan. Kemudian, pada tahun 1996 berubah fungsi menjadi hotel dan kini menawarkan kamar-kamar mewah yang pada momen-momen tertentu biaya sewanya mencapai 600 franc Swiss atau $ 620, 570 euro per malam.
Hotel Bel Esperance tidak khawatir bahwa penampungan tunawisma atau gelandangan ini dapat membahayakan bisnisnya setelah pandemi Covid-19 berakhir. Sebaliknya, pihak hotel telah mendapat banyak reservasi dari pelanggan. Mereka juga mengapresiasi dan mendukung yang telah dilakukan pihak hotel.
Bahkan, lanjut Meuwly, para pelangan hotel menyampaikan, bagaiman caranya agar bisa membantu hotel dalam menampung para tunawisma tersebut. "Saya pikir itu bahkan bisa menjadi aset bagi bisnis," katanya.
Kembali ke cerita Rahmani. Awalnya, dia menyeberang dari Aljazair ke Spanyol 3 tahun yang lalu menggunakan kapal. Kemudian menuju Paris, Perancis, dan akhirya sampai di Jenewa, Swiss pada bulan lalu.
Menurutnya, tinggal di hotel ini membuatnya nyaman. Terlebih, tidak harus memikirkan berbagai hal seperti saat berada di jalanan, atau saat menggelandang. Kondisi ini membuatnya ingin selamanya tinggal di Hotel Bel Esperance.
"Kita tidak harus memikirkan makanan, kita tidak perlu khawatir di mana harus tidur, atau jika kita akan kedinginan," ungkapnya.
Jenewa memberikan ketentuan khsusus bagi migran yang merupakan anak di bawah umur dan sering mendaftarkan mereka secara resmi kepada organisasi dan memberikan akses pada makanan dan tempat tinggal.
Senada dengan Rahmani, Hafida Marsli, wanita 42 tahun asal Maroko yang melakukan perjalanan dari negaranya ke Swiss 10 tahun lalu untuk mencari kehidupan yang lebih baik tetapi malah menjadi gelandangan di sana, mengatakan, tinggal di hotel sangat menyenangkan.
Sementara itu, Valerie Spagna yang mengepalai program penampungan malam Salvation Army untuk para tunawisma di Jenewa, mengatakan, perbedaan aturan selama mereka tinggal di hotel dengan penampungan, yakni saat di penampungan bisa masuk di malam hari untuk tidur di asrama besar atau kamar bersama, dan harus pergi lebih awal di pagi hari.
"[Di hotel] mereka akhirnya bisa bersantai, merawat diri sendiri, tidur selama yang mereka inginkan. Mereka akhirnya merasakan sedikit kehidupan yang lebih normal," ungkapnya.
Sedangkan yang menjadi kekhawatiran Spagna saat ini, yakni setelah tanggal 1 Juni nanti para tunawisma atau gelandangan ini harus keluar dari hotel. "Mereka akan harus kembali ke kehidupan nyata di beberapa titik. Itu akan menyakitkan," ujarnya.