OPEC+ sepakat memotong jutaan barel produksi harian untuk mengatasi krisis harga minyak. Langkah ini tak diyakini bisa mengembalikan harga minyak ke level normal.
Drama panjang OPEC+ akhirnya usai. Dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia, organisasi negara pengekspor minyak itu menyepakati pengurangan produksi. Ini disebabkan jatuhnya permintaan dunia yang dipicu oleh krisis akibat virus corona, sehingga harga minyak turun ke level terendah dalam 18 tahun terakhir. Tak tanggung-tanggung, pengurangan produksi menjadi rekor bersejarah, yakni sebesar 9,7 juta barel minyak per hari (bph).
OPEC+ adalah organisasi yang dibentuk pada 2016. Beranggotakan 14 negara anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan empat negara non-OPEC (Rusia, Meksiko, Azerbaijan, dan Kazakhstan). Dalam pernyataan pers yang dirilis OPEC pada Minggu, 12 April lalu, pemotongan produksi ini akan berlaku sejak bulan depan hingga akhir Juni. Setelah itu, mereka berencana meningkatkan produksi secara bertahap. Pengurangan dimulai sebesar 9,7 juta bph pada Mei hingga Juni, lalu sebesar 7,7 juta bph untuk periode Juli-Desember 2020, dan menjadi 5,8 juta bph hingga akhir April 2022.
Sebagai catatan, kesepakatan ini tidak berlaku sampai 1 Mei 2020. Artinya, negara-negara OPEC+, yang telah secara signifikan meningkatkan produksi selama bulan lalu, dapat terus membanjiri pasar selama beberapa minggu lagi.
Sebelumnya, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei, jatuh US$3,85 atau 13,4% ke posisi US$24,88 per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April anjlok US$6,58 atau 24,4% menjadi US$20,37 per barel. Ini terjadi akibat kegiatan bisnis terhenti. Goldman Sachs menilai, permintaan minyak global pada akhir Maret turun sebanyak 8 juta hingga 9 juta bph.
Menurut Oilprice.com, kesepakat pemotongan bermula dari rapat virtual para menteri energi OPEC+ pada pekan lalu. Saat itu, OPEC meminta Meksiko memotong produksi 400.000 bph. Meksiko menolak dan berencana hanya akan memangkas 100.000 bph. Tak lama, Meksiko malah meninggalkan rapat tersebut begitu saja.
Pada Jumat, 10 April lalu, Meksiko mengatakan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan dengan AS untuk meneruskan sebagian besar pemotongan itu. Presiden Meksiko, Andres Manuel Lopez Obrador, mengatakan bahwa AS sepakat memotong 250.000 bph bagi Meksiko untuk membantu mencapai potongan 400.000 bph yang diminta.
Maraton negosiasi berlangsung selama dua minggu. Ini terdiri dari panggilan telepon bilateral dan empat hari konferensi video dengan para menteri pemerintah dari seluruh dunia, termasuk aliansi OPEC+ dan negara-negara G20. Kesepakatan terjadi untuk mengatasi dampak pandemi global COVID-19 terhadap permintaan minyak di pasar.
Semula, OPEC+ berencana memotong produksi 10 juta bph, meski kemudian diputuskan sebesar 9,7 juta bph. Adapun AS, Kanada, dan Brasil berkomitmen menurunkan produksi 3,7 juta bph. Para pejabat OPEC masih terus menunggu masukan dari negara-negara anggota G20 lainnya soal detail jumlah pemotongan. "Kami telah menunjukkan bahwa OPEC+ aktif bekerja," ujar Menteri Energi Arab Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, kepada Bloomberg News.
***
Menurut Economic Times, pemenang terbesar sesungguhnya adalah Trump, yang menolak untuk secara aktif memotong produksi minyak AS. Ia juga menjadi perantara kesepakatan itu lewat panggilan telepon dengan Presiden Meksiko, Presiden Rusia, dan Raja Salman.
Trump menjadi Presiden AS pertama yang mendorong harga minyak lebih tinggi selama lebih dari 30 tahun terakhir. Kondisi ini membuat pandangannya terhadap OPEC berubah. "Saya benci OPEC. Anda ingin tahu yang sebenarnya? Saya benci, karena organisasi itu dibuat-buat," kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih minggu lalu. "Namun seiring waktu, perasaan ini berganti dan malah berbalik arah."
Pengamat minyak veteran yang juga Kepala Penelitian Komoditas di Citigroup, Ed Morse, menyebut bahwa langkah-langkah negosiasi pemotongan produksi minyak secara ekstrem itu belum pernah terjadi sebelumnya. "AS memainkan peran penting sebagai perantara pihak Arab Saudi dan Rusia," ujarnya.
Berdasarkan kesepakatan itu, Arab Saudi akan memangkas produksinya sedikit di bawah 8,5 juta bph. Ini merupakan level terendah sejak 2011. Sesungguhnya, kesepakatan OPEC+ menetapkan pemotongan Arab Saudi pada baseline 11 juta bph, sama dengan Rusia. Namun kenyataannya, produksi kerajaan akan menurun dari tingkat yang jauh lebih tinggi. Pada April, Arab Saudi meningkatkan produksi ke rekor 12,3 juta bph sebagai bagian dari perangnya melawan Rusia untuk menguasai pasar.
Meski demikian, analis senior pada Centre for Global Energy Studies, Julian Lee, meragukan pengusaha Rusia mau tunduk pada kesepakatan ini. Rusia berencana memangkas produksi sebesar 2,5 juta bph selama tiga minggu ke depan. Di sisi lain, Kepala BUMN Minyak Rusia (Rosneft), Igor Sechin, merupakan seorang kritikus sengit terhadap kontribusi sederhana Rusia terhadap pengurangan sebelumnya. "Saya bisa membayangkan bagaimana dia akan bereaksi, ketika dia mengatakan perusahaannya harus memangkas produksi hampir satu juta bph pada 1 Mei. Tentu sulit,” ujarnya.
Tantangan berikutnya, apakah pemotongan produksi besar-besaran itu akan cukup untuk membuat harga kembali normal? Faktanya, setelah garis besar kesepakatan diumumkan pada Kamis lalu, harga minyak di New York turun lebih dari 9%, karena para pedagang berpikir jumlah pemotongan itu tidak cukup besar.
Negara-negara di seluruh dunia kini sedang memperluas lockdown. Jumlah kematian akibat COVID-19 meningkat di New York, serta pengangguran meledak di AS. Akibatnya, pasar minyak sekarang jauh lebih khawatir tentang konsumsi daripada pasokan.
OPEC mengakui tantangan itu, dengan menyebut permintaan minyak global akan turun 20 juta bph pada April. "Permintaan turun lebih dari dua kali lipat dari kesepakatan penurunan 9,7 juta bph. Ditambah lagi faktor bahwa kesepakatan dengan Meksiko membutuhkan waktu lama untuk diselesaikan. Maka, kredibilitas organisasi ini juga terancam," tutur analis senior di Energy Aspects Ltd., Amrita Sen.
Runtuhnya permintaan itu, kata Lee, belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, ia lebih sreg menyebut kesepakatan pemotongan produksi minyak ini sebagai gencatan senjata sementara, ketimbang perdamaian abadi antara tiga produsen minyak terbesar dunia tersebut. "Jangan kaget jika perang atas pangsa pasar antara Arab Saudi, Rusia, dan Amerika kembali terjadi begitu lockdown berkurang dan orang-orang menginginkan minyak lagi," ucapnya mengingatkan.
Flora Libra Yanti