Jakarta, Gatra.com - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia mendesak pemerintah dan DPR jangangan sampai Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) mengubah pasal tentang analisis dampak lingkungan (Amdal), demi menjaga kelestarian lingkungan dan masyarakat hukum adat.
"APHA Indonesia meminta dan mendesak pemerintah dan DPR untuk mengkaji dan mempertimbangkan lagi rencana perubahan tersebut," kata Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., Ketua APHA Indonesia, di Jakarta, Senin (13/4).
APHA Indonesia berpendapat, pilihan terbaik adalah tetap memberlakukan Pasal 40 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Pria yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Sahid (Usahid) Jakarta, ini menjelaskan, Omnibus Law RUU Ciptaker yang merupakan RUU sapu jagat, membuat 79 UU terimbas, salah satunya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, termasuk mengancam masyarakat hukum adat.
Laksanto mengatakan, pihaknya menyampaikan pandangan tersebut setelah melakukan telaah dari aspek hukum adat, khususnya soal diubahnya aturan wajib izin lingkungan sebagai persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan sebagaimana terdapat dalam RUU Ciptaker.
Saat ini, masalah izin lingkungan diatur dalam Pasal 40 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan.
"Permasalahannya, RUU Cipta Kerja hendak menghapus Pasal 40 UU PPLH itu sebagaimana tertulis pada Pasal 23 angka 19 RUU Cipta Kerja. Izin lingkungan diubah menjadi persetujuan lingkungan," ujarnya.
Persetujuan lingkungan adalah keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya, definisi tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal)-pun mengalami perubahan.
Menurutnya, dalam UU PPLH, analisis mengenai Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja, lanjut Laksanto, definisi analisis mengenai dampak lingkungan hidup diubah menjadi, adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
"Perlu diingat bahwa izin lingkungan sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, itu merupakan instrumen yang berfungsi untuk mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup," tandasnya.
Perubahan aturan izin lingkungan dan Amdal sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH sangat potensial berdampak terhadap hak atas tanah dan hutan (ulayat) yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.
"Apalagi, saat ini hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat juga semakin terpinggirkan ketika ruang dan peluang investasi asing makin dibuka lebar oleh pemerintah," ungkapnya.
Pemerintah dan DPR harus mencermati kebijakan di bidang lingkungan hidup secara arif dan bijaksana, terutama dampaknya terhadap masyarakat hukum adat. Apalagi selama ini masyarakat hukum adat sama sekali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan tanah dan hutan ulayat yang mereka kuasai.
"Bahkan, hak-hak masyarakat hukum adat seringkali diabaikan saat tanah dan hutan ulayat mereka dijadikan atau terkena lahan perkebunan, HPH, dan pengelolaan sumber daya alam oleh korporasi atau investor," ungkapnya.
Idealnya, kata Laksanto, negara dan pemerintah melindungi dan berpihak kepada masyarakat hukum adat agar tanah dan hutan ulayat yang dikuasai tidak beralih kepada pihak lain, terutama korporasi atau investor.
Menurutnya, hal tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR agar masyarakat hukum adat tidak terusir dari wilayah adat dan ulayatnya karena alasan untuk dan atas nama pembangunan ekonomi seperti yang sering terjadi selama ini.
Masyarakat hukum adat memang rentan terzalimi oleh kebijakan penguasa dan kepentingan pengusaha, namun sesungguhnya merekalah dengan kearifan lokal mengenai lingkungan hidup yang mereka pegang teguh sebagai peninggalan para leluhurnya, itu adalah pejuang sejati yang menjaga kelestarian hutan dan tanah di wilayah adatnya.
"Perlu diingat bahwa kearifan lokal menjadi salah satu asas penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur Pasal 2 UU PPLH," tandasnya.
Menurut Laksanto, sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini, masyarakat hukum adat tetap konsisten dan berperan besar dalam menjaga keseimbangan alam dan melestarikan lingkungan hidup.
Laksanto menjelaskan, Omnibus Law merupakan sebuah konsep yang akan diterapkan pada 4 RUU yang kesemuanya merupakan usulan dari pihak pemerintah. Naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja ini telah disampaikan pemerintah kepada DPR.
Sejak awal penyusunannya, Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini telah menjadi sorotan dari banyak pihak, mulai dari kalangan organisasi masyarakat sipil, buruh, akademisi, dan berbagai pihak lainnya.
RUU Ciptaker ini menjadi sorotan karena muatan dalam drafnya dinilai hanya mengutamakan investasi dan pembangunan infrastruktur, tetapi mengabaikan lingkungan hidup. RUU Ciptaker ini memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal, dan menyebabkan 79 UU dengan 1.203 pasal menjadi terdampak.