California, Gatra,com - Perokok paling rentan terhadap infeksi COVID-19 yang parah, karena paru-paru mereka mengandung banyak titik masuk yang dapat dimanfaatkan virus. Infeksi COVID-19 dimulai pada reseptor ACE2, protein yang terletak di permukaan sel di seluruh tubuh, termasuk di saluran pernapasan. Coronavirus yang menyebabkan COVID-19, yang dikenal sebagai SARS-CoV-2, harus menancap ke reseptor ACE2 untuk menyuntikkan materi genetiknya ke dalam sel, bereplikasi dan menyebar. Livescience.com, 11/04.
Sekarang, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa paru-paru yang terpapar asap rokok menumpuk sejumlah besar reseptor ACE2 yang abnormal, yang dapat membuat organ rentan terhadap kerusakan yang ditimbulkan virus corona. "Telah dilaporkan bahwa perokok yang mendapatkan COVID-19 cenderung memiliki infeksi yang lebih parah daripada orang yang bukan perokok," kata Jason Sheltzer, seorang peneliti di Cold Spring Harbor Laboratory di New York, mengatakan kepada Live Science, 11/04. "Peningkatan reseptor ACE2 bisa menjadi salah satu alasan - dari banyak - mengapa perokok begitu parah akibat coronavirus," katanya.
Bukti menunjukkan bahwa dibandingkan dengan bukan perokok, orang yang merokok memiliki risiko lebih tinggi terkena komplikasi parah dan meninggal akibat infeksi COVID-19. Misalnya, sebuah penelitian terhadap lebih dari 1.000 pasien di China, yang diterbitkan New England Journal of Medicine, menemukan bahwa perokok dengan COVID-19 lebih memerlukan intervensi medis intensif daripada mereka yang tidak merokok. Dalam penelitian ini, 12,3% dari perokok saat ini dirawat di ICU, ditempatkan pada ventilator atau meninggal, dibandingkan dengan hanya 4,7% dari bukan perokok.
Jaber Alqahtani, seorang peneliti di Kedokteran Pernafasan di University College London, mengatakan kepada Live Science bahwa perokok sangat rentan terhadap COVID-19 karena beberapa alasan, tetapi hipotesis reseptor ACE2 memberikan hubungan holistik, mekanistik antara merokok dan infeksi yang parah.
Untuk menggambarkan hubungan antara reseptor ACE2 dan merokok, Sheltzer dan insinyur perangkat lunak Joan Smith, anggota laboratorium Sheltzer, memeriksa sampel paru-paru dan jaringan pernapasan dari tikus dan manusia yang telah meninggal, serta sampel yang dikumpulkan selama operasi paru-paru manusia. Jumlah reseptor ACE2 di paru-paru tidak bervariasi antara tikus dari berbagai usia atau jenis kelamin yang berbeda, dan tren yang sama muncul pada manusia.
Karena usia dan jenis kelamin tampaknya tidak berhubungan dengan jumlah ACE2, para peneliti bertanya-tanya apakah paparan asap rokok dapat membuat perbedaan. Tim memeriksa sampel jaringan dari tikus yang terpapar asap rokok encer selama nol, 2, 3 atau 4 jam sehari selama lima bulan. Mereka menemukan bahwa, semakin banyak paparan asap, semakin banyak reseptor ACE2 yang menghiasi paru-paru hewan. Dibandingkan dengan tikus yang tidak terpapar, tikus yang menerima dosis tertinggi asap rokok mengumpulkan sekitar 80% lebih banyak reseptor ACE2 di paru-paru mereka.
Para peneliti kemudian membandingkan paru-paru perokok manusia dengan mereka yang tidak pernah merokok, dan sekali lagi, mereka menemukan tren yang sama: paru-paru perokok mengandung 40% hingga 50% lebih banyak reseptor ACE2 daripada yang bukan perokok.
Kuantitas reseptor ACE2 bervariasi menurut berapa bungkus rokok yang dihisap seseorang per hari dikalikan dengan jumlah lamanya tahun merokok. Sebagai contoh, di antara perokok yang telah menjalani operasi toraks, orang yang merokok lebih dari 80 bungkus per tahun menunjukkan peningkatan 100% dalam reseptor ACE2 dibandingkan dengan orang yang merokok kurang dari 20 bungkus per tahun, para penulis mencatat.