Surabaya, Gatra.com - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menyatakan belum mengajukan penerapan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) kepada Kementerian Kesehatan. Saat ini, Pemkot Surabaya masih berusaha menangani wabah Covid-19 dengan caranya sendiri.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, PSBB bukan solusi untuk menekan penyebaran Covid-19 di Surabaya. Risma menganggap, situasi di Surabaya akan lebih kacau seperti di negara-negara maju yang menerapkan protokol kesehatan yang notabene jauh lebih ketat ketimbang hanya PSBB.
"Kalau (penerapan PSBB atau karantina wilayah sekalipun) itu di negara maju, even Belanda dan Itali itu kacau. Menurut aku yang paling utama itu disiplin. Jaga jarak, pakai masker, selalu menjaga kebersihan," kata Risma ditemui wartawan di Balai Kota Surabaya, Jumat (10/4).
Menurutnya, jika semua warga mampu menerapkan kedisplinan itu, tentu angka penularan Covid-19 di Surabaya akan menurun. Untuk itu, Risma mengatakan bahwa upaya yang dilakukannya selama ini bertujuan untuk mencegah adanya penularan baru dari warga yang mengidap Covid-19.
Mulai dari memasang fasilitas cuci tangan di semua lokasi publik dan penyemprotan disinfektan. Pihaknya juga masih hingga menerima bantuan alat-alat kesehatan dari sejumlah pihak dan menyalurkannya kepada para tenaga medis.
Upaya tersebut, dilakukan dalam rangka mengurangi dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di area dalam Surabaya. Sedangkan, di luar Surabaya, Risma mengaku lebih mengkonsentrasikan upaya pengetatan arus lalu lintas di perbatasan kota.
Sebab, letak Surabaya yang terbilang strategis, sehingga warga dari banyak kota-kota lain dapat mengakses. Risma mengaku, antisipasi penyebaran Covid-19 melalui warga Surabaya yang mudik, cukup berat.
Dia memprediksi, puncak arus mudik ke Surabaya, akan terjadi pada awal Mei. Untuk itu, pihaknya membuat pos kontrol perbatasan di 19 titik akses masuk ke Surabaya. Meski, belakangan pihaknya menarik semua petugas yang berjaga di pos tersebut. "Aku bagaimana semaksimal mungkin mencegah. Jadi, bukan mengobati. Kalau sudah mengobati, berat untuk aku. Untuk Surabaya. Karena Surabaya ini rujukan dari rumah sakit rumah sakit daerah," kata Risma.
Menurutnya, jumlah sarana atau fasilitas kesehatan di Surabaya, cukup terbatas. Apalagi jumlah warga yang terpapar Covid-19 hingga hari ini, terus meningkat. Belum lagi jumlah tenaga kesehatan yang juga terbatas. "Itulah kenapa, Petugas pemadam Kebakaran (PMK) itu saya kontrol terus. Jadi (memanfaatkan) semua resource saya lakukan," kata Risma.
Kemudian, caranya dalam menangani Covid-19 yang mewabah di Surabaya, juga ada kaitan dengan kultur masyarakat di Surabaya. Risma mencontohkan satu hal yang menjadi kultur warga Surabaya adalah kegemaran berkumpul di warung atau kedai kopi.
Karena itu, dirinya menilai wajar jika penangan wabah Covid-19 di Surabaya, terkesan berbeda dengan pemerintah kota atau kabupaten lain di Indonesia. Sebab, Risma menganggap hanya dengan cara tersebut, penularan wabah Covid-19 dapat dicegah dan ditekan.
Meski demikian, dirinya membolehkan warga Surabaya, terutama di tingkat RT dan RW, yang ingin berinisiatif menerapkan protokol kesehatan secara swadaya. Dia menganggap semua warga Surabaya berhak untuk berusaha hidup sehat. "Makanya, kami harus (melakukan cara) pencegahan itu. Yang paling penting adalah disiplin. Sekarang, Satpol PP masuk (blusukan) lalu bagi masker, sosialisasi (tentang penularan Covid-19)," katanya.