Jakarta, Gatra.com - Pakar Resolusi Konflik Dr. Ichsan Malik, M.Si, menilai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid)-19 masih bersifat normatif karena tidak ada petunjuk teknis pelaksaannya.
"Skenario PSBB ini pun masih nomatif karena tidak ada petunjuk pelaksanaan teknis," kata Ichsan dalam diskusi daring Forum Diskusi Salemba ILUNI UI, Rabu (8/4).
Selain itu, Ichsan juga menyampaikan, ada kebingungan antara skenario lockdown, social distancing, fenomena darurat sipil, dan PSBB. Ia menilai masih terdapat sejumlah kekurangan dalam penanganan Covid-19 saat ini.
Dalam situasi saat ini, Ichsan pun menyatakan, setidaknya ada tiga posisi masyarakat, yakni sebagai korban, penyintas (survivor), atau pemimpin (leader).
"Masyarakat akan banyak menjadi korban akibat kebijakan dan keterlambatan, meskipun ada juga yang akan jadi penyintas. Tapi diharapkan masyarakat bisa jadi leader dalam penganggulangan ini," katanya dalam keterangan pers.
Berkaca dari semua bolong atau kekurangan yang ada, Ichsan pun menegaskan, sudah waktunya masyarakat tidak terlalu tergantung pada pemerintah pusat. Ia mendorong partipasi aktif dari berbagai elemen, salah satunya dari masyarakat. Ia menyebut, dalam situasi ini, saatnya berbicara tentang kearifan lokal, paritispasi, dan pergerakan dari bawah (track two).
"Kekuatan kita justru terletak di daerah-daerah dan masyarakat, serta sektor-sektor. Ini akan membantu semua kekurangan Pemerintah Daerah. Kalau di track one merupakan inisiatif Pemerintah Pusat, maka track two merupakan inisatif Pemda dan masyarakat daerah. Ini kombinasi dua hal yang mutlak," ujar Ichsan.
Lebih jauh, Ichsan menjabarkan, setidaknya ada 4 hal dalam melakukan skema intervensi sosial penanganan Covid-19. Pertama, diperlukan peningkatan kapasitas (capacity building). Kedua, kebijakan yang diambil pemerintah.
Ketiga, pemberdayaan (empowerment) ekonomi masyarakat yang perlu ditingkatkan untuk menghindari kekacauan, dan keempat; membangun jaringan. Dalam mengatasi permasalahan ekonomi sebagai konsekuensi pembatasan wilayah, konsep solidaritas sosial di antara masyarakat pun diharap akan lebih digerakkan.
"Yang rentan jadi korban adalah masyarakat kelas bawah. Ini bisa dihindari jika ada solidaritas sosial dari mereka yang lebih berdaya. Ini menantang kita sebagai bangsa. Kuncinya adalah solidaritas sosial yang didorong pemerintah dan masyarakat itu sendiri," ujar Peneliti Kebencanaan sekaligus dosen Psikologi Univesitas Indonesia (UI), Dicky C Pelupessy.
Sementara itu, Ketua Policy Center ILUNI UI, M. Jibriel Avessina, mengajak masyarakat untuk melakukan solidaritas sosial, agar masyarakat yang rentan secara ekonomi dan kekuatan, tidak menjadi korban. Ke depannya, dalam menyikapi kemungkinan munculnya wabah serupa, Pemerintah diharapkan untuk mendorong inisiatif pranata kultur.
"Budaya baru yang muncul di masyarakat ini diharapkan bisa meningkatkan resiliensi masyarakat ke depan. Tidak harus bergantung pemerintah, tapi masyarakat bisa bergerak dengan komunitasnya masing-masing," kata Jibriel.
Ia pun menegaskan, untuk kepentingan bersama, Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang tegas dalam melarang orang untuk berkumpul bersama, baik untuk tujuan ibadah, kegiatan mudik, dan kegiatan lainnya, bukan hanya pembatasan saja.
Jibriel juga mendorong model desain inisiatif berbasis komunitas untuk berkembang sebagai pertahanan bersama dalam menghadapi perang melawan Corona.