Pandemi Covid-19 membuat investor menahan diri. Beleid keringanan pajak akan diuji efektivitasnya. Potensi industri game tanah air bisa jadi prioritas.
Jakarta, GatraReview.com - Wabah virus corona telah memukul perekonomian global. Tak terkecuali Indonesia, yang tengah berjuang mengembalikan performa neraca perdagangan yang terseok-seok dalam enam tahun belakangan. Di sisi lain, sektor industri sebagai penggerak ekonomi nasional sangat berperan memberikan nilai tambah, menyerap tenaga kerja --yang ujungnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat-- belum juga maksimal.
Presiden Joko Widodo dalam periode kedua pemerintahannya menyoroti kinerja investasi di sektor industri agar lebih baik. Khususnya ditujukan kepada industri substitusi impor dan berorientasi ekspor.
Dalam sebuat rapat terbatas di Kantor Kepresidenan, Desember lalu, Presiden Joko Widodo menyebut kebijakan perindustrian dan perdagangan Indonesia akan fokus pada upaya menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap positif. Sekaligus, menekan defisit neraca transaksi berjalan dan meningkatkan surplus neraca perdagangan.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Presiden Jokowi meminta ada percepatan implementasi program perindustrian dan perdagangan. BPS menyebut, impor sejumlah bahan baku pendukung industri yang berkontribusi besar bagi defisit segera dicarikan substitusinya. Pasalnya, diketahui impor bahan baku pendukung industri mencapai 74,06% dari total impor selama Januari hingga Oktober 2019. Impor barang modal berada pada angka 16,65%, diikuti dengan impor barang konsumsi yang mencapai 9,29%.
Berdasarkan data BPS itulah kemudian Presiden meminta ruang investasi bagi industri substitusi barang impor dibuka lebar. Industri petrokimia yang bisa memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri termasuk di dalamnya.
“Harus ada langkah quick win yang konkret untuk mendorong tumbuhnya industri pengolahan, seperti besi baja dan petrokimia,” kata Presiden.
Tumbuhnya industri pengolahan bahan baku pendukung bukan hanya bertujuan menghasilkan barang substitusi impor, melainkan juga peluang penciptaan lapangan kerja lebih banyak.
Secara khusus, Presiden Jokowi menyebut secara makro apa yang dikerjakan pemerintah tujuannya membangun kepercayaan, baik dari dalam maupun luar negeri, agar mampu meningkatkan arus investasi ke dalam negeri.
Sayang, diakuinya, potensi arus investasi terhambat pandemi wabah virus corona. Disebutnya, ada nilai investasi sebesar Rp708 triliun tertunda realisasinya. Bahkan yang minat menembus Rp1.600 triliun.
Konsistensi Industri Pengolahan
Meskipun data BPS terbaru menyebut neraca perdagangan pada Februari 2020 surplus, bukan berarti sinyal baik bagi ekonomi. Pasalnya, transaksi surplus lebih karena anjloknya impor bahan baku sepanjang Februari 2020. Impor bahan baku masih diperlukan untuk mendorong kinerja industri berorientasi ekspor, seperti otomotif, elektronik, dan plastik. Jika tidak, maka industri itu akan drop beberapa bulan ke depan.
Di sisi lain, industri pengolahan yang berkontribusi baik perlu dijaga performanya. Industri pengolahan masih konsisten memberikan kontribusi paling besar terhadap capaian nilai ekspor nasional. Pada Januari-Desember 2019, ekspor produk industri pengolahan mampu menembus hingga US$126,57 miliar atau menyumbangkan sebesar 75,5% terhadap total ekspor Indonesia yang menyentuh di angka US$167,53 miliar sepanjang tahun lalu.
“Industri pengolahan masih menjadi salah satu motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta.
Pemerintah, Agus melanjutkan, kini sedang fokus menggenjot nilai ekspor guna memperbaiki neraca perdagangan. Sektor manufaktur punya peranan penting untuk mencapai sasaran itu.
Meski begitu, pemerintah patut waspada dengan performa ekonomi global yang memengaruhi Indonesia sejak awal 2020. Di dalam negeri, BPS menyebut, ada penurunan impor bahan baku dan modal pada Januari 2020 yang akan berdampak cepat atau lambat pada industri pengolahan yang ujungnya berimbas pada pertumbuhan ekonomi 2020, utamanya kuartal I 2020.
Selama Januari 2020, impor bahan baku turun signifikan di kisaran 7,35% yoy menjadi US$10 miliar. Sementara itu, impor modal turun 5,26% yoy menjadi US$2,23 miliar pada Januari 2020.
“Bahan baku alami penurunan, modal juga. Kita waspada penurunan bahan baku tidak memengaruhi industri pengolahan,” kata Kepala BPS, Suhariyanto, saat konferensi pers di kantornya, 17 Februari silam.
Agus menambahkan, pemerintah siapkan langkah strategis melalui Kementerian Perindustrian dalam upaya meningkatkan nilai ekspor industri pengolahan. Di antaranya, melakukan pembinaan industri melalui peningkatan daya saing dan penyiapan produk unggulan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya yakni percepatan negosiasi free trade agreement (FTA), perluasan pasar non-tradisional, dan inisiasi FTA bilateral sesuai dengan kebutuhan industri.
Industri Potensial Mendapat Keringanan Pajak
Berdasarkan data BPS, lima sektor yang memberikan sumbangsih paling besar terhadap capaian nilai ekspor industri pengolahan sepanjang tahun 2019 yaitu industri makanan yang menyetor hingga US$ 27,16 miliar atau berkontribusi sebesar 21,46%. Selanjutnya diikuti oleh industri logam dasar US$ 17,37 miliar (13,72%).
Kemudian, industri pengapalan, bahan kimia, dan barang dari bahan kimia berkontribusi US$12,65 miliar (10%), industri pakaian jadi tembus US$8,3 miliar (6,56%), serta industri kertas dan barang dari kertas yang menyetor US$7,27 miliar (5,74%).
Dari sisi negara tujuan ekspor produk manufaktur Indonesia pada periode Januari-Desember 2019, Amerika Serikat menjadi yang terdepan menyerap produk manufaktur Indonesia (13,64%), disusul Cina (13,48%), Jepang (8,7%), Singapura (6,94%), dan India (5,17%). Menurut Agus, pemerintah masih terus berupaya memperluas pasar ekspor utamanya ke negara-negara yang selama ini belum jadi sasaran.
Untuk industri makanan dan minuman, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim menyebut investasi di sektor ini meningkat signifikan. Namun, masih perlu pemasaran untuk pengenalan produknya.
“Jangan sampai diisi produk impor,” katanya seperti dilaporkan Ryan Puspa Bangsa dari Gatra review.
Pemerintah, menurutnya, terus mendorong pertumbuhan dan memberi berbagai fasilitas, seperti tax loan, tax holiday, serta deduction tax. Terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelontorkan stimulus sebagai antisipasi dampak pandemi virus corona baru pada 19 industri sektor manufaktur, termasuk industri makanan dan minuman (mamin).
Stimulus yang diberikan pada 19 industri itu berupa relaksasi pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain atau PPh Pasal 21 selama enam bulan, dimulai pada April hingga November 2020 dengan nilai sebesar Rp8,6 triliun.
Selain industri yang diberi bantuan, industri farmasi juga layak didorong. Pasalnya, menurut kajian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), industri farmasi merupakan satu dari lima industri prioritas dalam rencana induk Pengembangan Industri Nasional 2015 – 2035 yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah 14/2015. Sebagai sektor penyumbang manufaktur non – migas terbesar keempat bagi perekonomian dan dengan potensinya yang kuat sebagai mesin pertumbuhan.
Sektor industri ini juga berperan penting dalam lanskap industri Indonesia. Pada 2008, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1010/ MENKES/PER/XI/2008 (Permenkes 1010) tentang Registrasi Obat dalam upaya memastikan obat – obatan memenuhi standar keamanan, kualitas, dan kemanjuran.
“Kebijakan ini berfungsi merespon distributor yang melanggar integritas rantai pasokan farmasi. Namun, sepuluh tahun sejak kebijakan diterbitkan, 90 persen bahan baku farmasi masih impor mengakibatkan tidak kompetitifnya produk generik lokal,” seperti dikutip dari kajian INDEF.
Apalagi, disaat pandemi corona melanda Indonesia dan semakin agresif, INDEF melihat industri farmasi salah satu yang paling terkena dampak. Harga obat – obatan naik, akibat kebutuhan meningkat. Sementara bahan baku masih impor diyakini terhambat akibat wabah yang melanda dunia.
Ambisi Industri Baru
Selain beberapa industri yang menyumbang signifikan ke kas negara, sejumlah kelompok juga mulai aktif mengembangkan industri baru. Industri game, misalnya, sangat potensial digarap. Sejauh ini, baru Jepang, Korea Selatan, dan Cina saja yang dominan bermain di pasar game dunia. Korea Selatan bahkan mengemas produk game mereka dengan budaya Korea. Nilainya ditaksir empat kali lipat dibandingkan dengan budaya K-Pop. Bagaimana dengan Indonesia?
Merujuk data perusahaan penyedia data analitik industri game dan e-sports Newszoo pada 2018, Director of Syndex Metrodata Indonesia Ronaldu Suhendra menyebut total transaksi industri gaming menyentuh angka Rp15 triliun. Newszoo mengungkap, Indonesia berada pada peringkat ke-17 dari 50 negara. Taiwan berada di peringkat ke-15 dan India ke-16. Nomor satu masih diduduki Cina.
Ketua Umum Asosiasi Game Indonesia (AGI), Cipto Adiguno, menyebut video game sebagai medium hiburan terbesar dan masih berkembang paling pesat saat ini. Indonesia merasakan atmosfer itu, terutama dengan semakin terjangkaunya ponsel smartphone untuk bermain dan jaringan internet yang semakin baik.
“Demam game menjalar hampir di semua usia,” katanya kepada Muhammad Guruh dari Gatra review.
Industri game sendiri, ia melanjutkan, terbilang bebas secara geografis. Siapa pun dari negara mana pun bisa mengem bangkannya. Dampaknya, pelaku industri lokal yang terbilang newbie di bisnis ini sangat memungkinkan langsung berhadapan dengan pemain besar skala global. Karena itulah pertumbuhan pengembang lokal belum signifikan. Padahal, industri ini sangat dinamis, cepat berubah.
“Sepuluh tahun lalu saat warnet menjamur, sulit membayangkan video game merajai dunia melalui smartphone. Bukan konsol, atau PC,” ia mengungkapkan.
Pemerintah, diakuinya, sudah membuat program riil semisal Archipelagek yang didukung Badan Ekonomi Kreatif/Bekraf (saat ini masuk ke Menparekraf) yang membawa pengembang game lokal ke acara luar negeri. Acara ini diakuinya meningkatkan kualitas talenta pengembang game di Indonesia. Meski begitu, ia antusias menanti diskusi yang lebih inten dengan pemerintah.
“Kami sudah sampaikan informasi terkini kepada Wakil Menteri Angela. Saat ini masih menunggu jadwal audiensi dengan menteri dan asosiasi lain untuk menyatukan suara,” ia menjelaskan. Meski ia sendiri tidak benar-benar tahu ke mana arah industri game ke depannya, AGI dan pemerintah serius merencanakan beberapa program untuk mengakselerasi industri ini agar siap dengan perubahan.
Sandika Prihatnala