Home Internasional Kabinet Inggris Terisolasi Wabah Corona

Kabinet Inggris Terisolasi Wabah Corona

Pangeran Charles, Pedana Menteri Boris Johnson, dan sejumlah pejabat Inggris, dinyatakan positif terpapar COVID-19. Berpotensi menimbukan kekosongan kekuasaan, sedangkan perang melawan virus corona makin sengit.


Awal pekan ini, warga Inggris dikejutkan dengan kabar Perdana Menteri Boris Johnson masuk rumah sakit. Pada hari Minggu lalu, Johnson dilarikan ke rumah sakit, sebab gejala penyakit virus corona yang dialami pria 55 tahun ini ternyata makin parah.

"Berdasarkan saran dokter, Perdana Menteri malam ini telah dimasukkan ke rumah sakit untuk dites. Ini adalah langkah pencegahan, mengingat PM masih menunjukkan gejala berkelanjutan usai dinyatakan tes positif virus corona sepuluh hari lalu," demikian pernyataan resmi dari Downing Street.

Sebelumnya, pada hari Jumat, Johnson mengumumkan lewat sebuah video di Twitter bahwa ia positif COVID-19 setelah dites. Ia menjadi pemimpin negara besar pertama yang positif mengidap virus corona. "Selama 24 jam terakhir, saya merasakan gejala-gejala ringan dan mendapat hasil tes positif virus corona. Saya sekarang mengisolasi diri sendiri. Namun saya akan terus memimpin strategi pemerintah lewat konferensi video untuk melawan virus ini," kicau Johnson di akun Twitternya.

Saat itu, gejala yang dialaminya memang masih ringan, sedikit demam, dan batuk yang frekuentatif selama 24 jam. "Bersama kita bisa melawan virus ini. #StayHomeSaveLives," tulisnya. Ia juga meminta agar masyarakat bisa patuh terhadap kebijakan pemerintah terkait virus corona agar situasi epidemi bisa cepat dilalui.

Beberapa jam usai twit tersebut, Menteri Kesehatan (Menkes) Inggris, Matt Hancock (41 tahun), juga dinyatakan positif terinfeksi virus corona. Hancock menjadi pejabat kesehatan kedua di Inggris yang terpapar setelah Menteri Kesehatan Junior, Nadine Dorries, dites positif pada awal Maret. Menteri Urusan Skotlandia, Alister Jack, juga sedang mengisolasi diri karena diketahui mengalami gejala ringan. Bahkan pewaris takhta Inggris, Pangeran Charles, juga dites positif.

Dilansir Reuters, Menteri Bisnis Alok Sharma memastikan, "Tidak ada kendala dalam pemerintahan saat ini". Walau sedang mengisolasi diri, Johnson tetap memimpin rapat kabinet soal virus corona pada Sabtu, esok harinya.

Meski demikian, muncul sejumlah pertanyaan, apa yang akan terjadi pada pemerintahan Inggris jika PM dan sejumlah menteri tak bisa bekerja lagi nanti. Sejauh ini, perundang-undangan Inggris tak mengatur apa pun terkait hal semacam ini. 

"Kami belum pernah ada dalam kondisi semacam ini. Kami belum pernah harus berpikir solusi dari sudut pandang masalah seperti itu," ujar peneliti senior di Institusi Pemerintahan, Catherine Haddon.

Namun, Downing Street telah menyiapkan rencana cadangan. "Perdana Menteri memiliki kuasa untuk mendelegasikan tanggung jawab untuk menteri yang mana saja. Namun untuk saat ini, urutannya adalah Perdana Menteri, kemudian Menteri Luar Negeri," demikian pernyataan juru bicara Kantor PM.

Dalam pernyataan resminya di stasiun televisi pada akhir pekan lalu, Ratu Elizabeth II menyampaikan pujian kepada para petugas medis dan pihak-pihak terkait. Ia juga mendorong agar social distancing tetap dilakukan. "Jika kita tetap bersatu dan bekerja bersama, maka kita akan bisa melewati ini," ujarnya.

***

Inggris menghadapi tantangan besar saat jumlah kasus positif COVID-19 di sana melebihi 40.000 orang. Angka kematian di sejumlah rumah sakit naik menjadi 708 jiwa, sehingga total ada 4.313 korban meninggal (data Senin, 6 April). Inggris adalah negara kelima yang mengalami kasus kematian tertinggi di dunia setelah Italia, Spanyol, Amerika Serikat, dan Prancis.

Departemen Kesehatan melaporkan jumlah tersebut sebagai angka terparah sejak pandemi diumumkan merebak di Inggris. Sebanyak tambahan 3.735 orang dinyatakan positif dalam tes lanjutan. Dengan demikian, sejauh ini jumlah kasus positif di Inggris sebanyak 41.903. Sebelumnya, Johnson menyatakan telah siap memperketat aturan lockdown di seluruh negeri, mengingat sejauh ini Inggris tercatat memiliki tingkat kematian tertinggi akibat COVID-19.

Hampir semua atau sekitar 30 juta rumah tangga di Inggris akan menerima surat dari Kantor PM. Isinya menjelaskan bahwa kondisi yang lebih buruk masih mungkin terjadi tak lama lagi. Selain itu, diiingatkan kembali seruan pemerintah terkait menjaga jarak (social distancing), rajin mencuci tangan, dan terkait gejala penyakit ini. 

Seiring dengan itu, kabinet Johnson terus mempersiapkan Kantor Layanan Kesehatan Nasional (National Health Service/NHS) untuk mengantisipasi kasus-kasus baru di masa mendatang. "Sejak awal, kami telah berniat melakukan tindakan tepat di waktu yang tepat," tulis Johnson dalam surat tersebut, yang akan dikirim dalam pekan ini.

"Kami tidak ragu-ragu mengambil tindakan lebih jauh, jika memang itu yang disarankan oleh para ahli dan petugas kesehatan untuk harus dilakukan," Johnson menambahkan, dilansir Guardian.

Peringatan keras ini terbit setelah pimpinan NHS menekankan kembali bahwa Inggris bisa menjaga jumlah kematian di bawah 2.000 orang, sambil bersikap tidak puas diri dengan kondisi tersebut. Hasil penelitian dari Imperial College London memperkirakan, Inggris bisa menderita 5.700 kematian. Jumlah ini lebih kecil dari dugaan sebelumnya. Dengan catatan, Inggris mengikuti langkah Cina yang ketat. "Ini bukan saatnya untuk berpuas diri," ucap Direktur Medis Nasional NHS Inggris, Stephen Powis.

"Jika kita menurunkan angka kematian ke tingkat lebih rendah dari yang kita perkirakan sebelumnya, saya ingin menegaskan bahwa itu bukan karena faktor keberuntungan. Hasil itu hanya bisa tercapai jika masing-masing orang di negara ini menjalankan instruksi yang diberikan pemerintah, yang berdasarkan bukti-bukti ilmiah," tutur Powis.

***

Mantan Menteri Kesehatan, Jeremy Hunt, menulis di Telegraph bahwa uji coba massal yang dilakukan Korea Selatan dan Jerman adalah cara tercepat mengakhiri lockdown.

"Restoran-restoran buka di Korea Selatan. Anda bisa berbelanja di Taiwan. Kantor-kantor di Singapura tetap beroperasi," tulis Hunt. "Negara-negara ini telah belajar lewat cara yang sulit, bagaimana menghadapi suatu pandemi setelah berhadapan dengan virus SARS. Mereka sekarang menunjukkan kepada kita bagaimana kita bisa pulih setelah lockdown."

Jerman juga telah melaksanakan tes sejumlah empat kali lipat dari Inggris. Mereka mencatatkan angka kematian sebanyak 324 orang. "Saat kita menemukan virus itu, maka kita bisa mengisolasinya dan menjaganya supaya tak menyebar," tulis Hunt.

Pihak kepolisian menyatakan akan melakukan langkah tegas jika ditemukan ada orang sengaja batuk di dekat orang tua atau orang yang rentan. Aparat memastikan, semua orang akan segera mengetahui aturan terbaru ini.

Sebuah survei yang dibuat oleh Observer, menunjukkan bahwa mayoritas warga Inggris menginginkan aturan lebih ketat untuk menekan penyebaran virus corona. Mereka melihat, pemerintah terlalu lamban merespons pandemi ini.

Sebanyak 57% publik menilai, lockdown harus diberlakukan lebih luas. Ada 33% suara yang menyatakan harusnya penggunaan transportasi umum dilarang sepenuhnya. Mayoritas 56% menilai pemerintah masih kurang sigap. Jumlah lebih besar lagi, sebanyak 92% mendukung lockdown dan keputusan-keputusan pemerintah untuk menangani krisis ini.

Di sisi lain, ada kekhawatiran soal jumlah ventilator dan kecepatan untuk mendapatkan tambahannya. Diketahui ada 8.000 ventilator yang tersebar di seluruh Inggris. Sejumlah 8.000 lainnya ditargetkan akan tiba dalam waktu tak lama lagi. 

Kepala pabrik ventilator Drägerwerk yang berbasis di Jerman, Stefan Dräger, mengatakan bahwa tempat tidur ICU per kapita di Inggris lebih sedikit dibandingkan yang dipunyai Italia. Jumlah itu bahkan lima kali lebih sedikit daripada Jerman. "Tantangan di Inggris akan lebih besar daripada yang dihadapi Spanyol," ujarnya kepada Majalah Der Spiegel.


Flora Libra Yanti