Jakarta, Gatra.com - Direktur Program dan Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu mengatakan, penangkapan 18 orang di Jakarta Pusat dengan alasan melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak berdasar hukum.
"Apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan melakukan penangkapan adalah tindakan sewenang-wenang karena belum ada ketentuan pidana yang dapat diterapkan," katanya dalam keterangan tertulisanya, di Jakarta, Minggu (5/4).
Ia menjelaskan, meski presiden telah menetapkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun dalam PP ini tidak menetapkan wilayah yang diberlakukan PSBB. PP ini, hanya menjelaskan tata cara Menteri Kesehatan menetapkan PSBB.
"Kepolisian harusnya memahami isi PP tersebut, bahwa PP tersebut hanya menjelaskan tata cara untuk menteri kesehatan menetapkan PSBB, sesuai dengan amanat Pasal 60 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar diatur dengan PP," tambahnya.
Bahkan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang PSBB ini juga hanya menjelaskan koordinasi kepala daerah dengan Menteri Kesehatan (Menkes) saja. Malahan, Pemprov DKI yang telah mengajukan status PSBB juga belum dikabulkan Menkes.
"Ketentuan Pasal 93 UU 6/2018 yang digembar-gemborkan kepolisian tentang menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus secara spesifik menjelaskan bahwa upaya kekarantinaan kesehatan terdiri dari PSBB yang ditetapkan oleh menteri kesehatan. Menteri harus menetapkan PSBB sebagai upaya kekarantinaan kesehatan terlebih dahulu sebelum bisa memberlakukan Pasal 93 UU 6/2018," tegasnya.
Selanjutnya, Erasmus mengatakan, penggunaan Pasal 218 KUHP juga tidak boleh dilakukan secara serampangan menggunakan ancaman pidana. Menurutnya, Pasal 218 KUHP hanya dapat diterapkan pada kerumunan yang mengacau mengacau (volksoploop), bukan orang berkerumun yang tenteram dan damai.
"Terkait dengan unsur berkerumun, pasal ini berkaitan dengan Pasal 510 dan Pasal 511 KUHP yang menjelaskan kondisi keramaian umum spesifik dalam bentuk pesta atau keramaian bagi khalayak ramai yang diadakan ditempat umum. Sehingga pun, Pasal 218 KUHP tidak dapat diterapkan dalam konteks ini. Penggunaan ancaman pidana tanpa dasar hanya menyebarkan ketakutan di masyarakat," ungkapnya.
Bahkan, penangkapan yang kemungkinan berujung penahanan ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah lainnya. Pasalnya, Kementerian Hukum dan HAM berencana membebaskan ribuan narapidana lantaran pandemi COVID-19 ini.
"Sehingga ironis upaya kepolisian untuk menahan laju penyebaran Covid-19 malah berujung pada tindakan yang menempatkan orang di situasi rentan terkena Covid-19. Pendekatan yang represif dan menggunakan pemidanaan tidak pernah terbukti berhasil menanggulangi persoalan kesehatan publik," tambahnya.
Erasmus menegaskan, ketidakjelasan ini malah menjadikan masyarakat sebagai korban. Belum ada ketentuan pidana yang dapat diterapkan. "Tapi rakyat ditindak secara sewenang-wenang, termasuk rakyat yang terpaksa harus tetap keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya," katanya.