Siak, Gatra.com - Gumpalan asap hitam dan tebal menyeruak dari knalpot sebuah truk besar pengangkut sawit. Truk berbadan tambun ini berupaya keras menaklukan jalan menanjak berupa tikungan, di jalan Kecamatan Minas, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Bunyi mesinnya meraung-raung hingga memekakkan telinga. Makin kencang bunyinya, makin keras pula semburan asap pekat dari knalpotnya. Usai berupaya keras, mobil itu berhasil melalui medan sulit. Kejadian itu merupakan peristiwa sehari-hari di jalan tersebut. Truk pengangkut berlalu lalang mengangkut minyak sawit dari perkebunan menuju kilang-kilang di kota Dumai.
Meski rutinitas harian, polusi dari truk-truk itu hanya potongan kecil tentang bagaimana polusi mengotori udara di Riau. Gambaran besarnya adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang nyaris terjadi setiap tahun. Pemicu umumnya adalah pembukaan kebun sawit.
Kualitas udara yang buruk membuat penduduk yang bermukim di sekitar kebun sawit dan jalur distribusinya lebih berisiko terkena virus saat situasi pandemi Covid-19. Dalam laporan Huffington Post, ahli epidemologi Universitas California Los Angeles (UCLA), Zuo Feng Zhang mengatakan ada keterkaitan antara polusi udara dengan kematian akibat virus.
Menurutnya, polusi udara di sebuah wilayah punya andil mempengaruhi daya tahan tubuh manusia melawan penyakit. Zhang mencermati hal ini dengan melihat bagaimana virus SARS menghantam China pada 2003.
Ia dan timnya menyimpulkan bahwa pasien SARS yang tinggal di tempat-tempat yang paling berpolusi, tingkat kematiannya dua kali lebih tinggi dibanding mereka yang berada di daerah berudara bersih.
"Kami menemukan korelasi yang sangat kuat antara polusi udara dan kematian dari virus," katanya dalam laporan tersebut, (4/4).
Ia mengingatkan meski korban virus SARS lebih sedikit dibandingkan Covid-19, bukan berarti peluang tersebut tidak berlaku untuk kasus virus corona.
"Di negara-negara yang sangat tercemar seperti India, Pakistan, Afghanistan dan Indonesia, itu akan memperburuk dampak Covid-19. Bahkan lebih daripada di negara-negara dengan udara yang lebih baik," jelas Zhang.
Lantas, seberapa buruk tingkat pencemaran udara di Riau?
Saban tahun, kualitas udara di Riau selalu memburuk sebagai imbas kebakaran hutan dan lahan akut di daerah itu. Di awal 2020, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mendata 797,53 hektare lahan terbakar sejak 1 Januari hingga 18 Maret 2020. Tahun 2019, Polda Riau mengangani kasus karhutla seluas 1.687,342 hektar, dengan dua perusahaan sawit berstatus tersangka.
Sementara itu, Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat sejak Januari hingga 9 September 2019, penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di Riau telah mencapai 281.626 orang.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Riau, dr. Zul Asdi membenarkan bahwa pasien dengan riwayat penyakit ISPA lebih rentan terhadap virus corona. Menurutnya, dengan kasus karhutla yang menahun di Riau, maka tingkat kematian (mortalitas) akibat corona berpeluang lebih tinggi.
"Ya beresiko. Itu sebabnya kalau virus corona direspon dengan hanya menunggu di rumah sakit, kita tidak akan sanggup. Memutus mata rantainya harus dimulai di tengah masyarakat dengan meningkatkan kesadaran diri dan melakukan focus group discussion (FGD) di level komunitas, tapi melalui jejaring sosial. IDI Riau akan bersedia jadi konsultan," katanya kepada Gatra.com, Sabtu (4/4).
Sebagai informasi, hingga Sabtu siang jumlah pasien positif Covid-19 di Riau mencapai 10 orang, dengan satu pasien dinyatakan sembuh. Adapun jumlah orang dalam pengawasan (ODP) mencapai 21.951 orang.
Di Riau terdapat lebih dari 2 juta hektar kebun sawit yang digarap oleh petani swadaya dan perusahaan. Beberapa perusahaan merupakan bagian dari perusahaan sawit multinasional seperti Golden Agri Recources (GAR), Wilmar, Musimmas, Asian Agri, First Recourcess hingga Sime Darby.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Riau, Saiman Pakpahan menilai perusahaan sawit terkesan tidak melakukan gerakan secara masif lantaran menganggap Covid-19 lebih mengacam penduduk perkotaan. Padahal, tidak alasan bagi perusahaan sawit multinasional mengelak membantu Pemprov Riau mengatasi virus corona, sekalipun kantor utama perusahaan berada di Jakarta, Singapura atau Malaysia.
"Mau kantornya di luar negeri atau di luar Riau, bukan berarti mereka tidak ikut menyokong pemerintah daerah Riau menanggulangi Covid-19. Bagaimana pun mereka mencari untung di Riau. Kalau pemda sudah melakukan realokasi anggaran, seharusnya perusahaan sawit juga mengulurkan tangan," imbuhnya.
Pemprov Riau sendiri menyiapkan anggaran sekitar Rp200 miliar untuk menanggulangi virus yang pertama kali muncul di Kota Wuhan, Cina, tersebut.
"Perusahaan sawit seharusnya juga dapat mengumpulkan lebih kurang Rp100 miliar," ia menekankan.
Hingga berita ini diturunkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) area Riau belum memberikan tanggapan.