Pertengahan April 2020, sebelum memasuki bulan Ramadan, Mohamad "Bob" Hasan berencana meresmikan program pengembangan masyarakat desa di Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dia merancang segala sesuatunya dengan penuh semangat. Setiap detail sudah dipikirkan dengan matang sejak enam bulan lalu. Bahkan, daftar siapa saja yang diundang untuk hadir di peresmian juga telah dipikirkannya.
Pengembangan Desa Cilongok, yang digagas Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Pembangunan VII itu adalah proyek pembangunan sebuah "enklave" ekonomi seluas hampir 1,7 hektare yang nantinya dikelola dan dimiliki secara komunal oleh masyarakat desa lewat koperasi. Di dalamnya terdapat pabrik pengolahan gula merah dan tepung tapioka, kolam pembenihan dan pembesaran ikan lele, kandang kambing, serta perkebunan singkong serta tanaman vanili.
Di situ juga dibangun kafe dan taman bunga yang "Instagrammable" buat tempat nongkrong anak muda. Sebuah kawasan yang dicita-citakan Bob Hasan tidak hanya menjadi pusat ekonomi masyarakat desa, melainkan juga bisa menjadi kawasan agrowisata dan kebun percontohan bagi pengembangan pertanian.
Rencananya, dari kawasan yang dibangun dengan uang tak kurang dari Rp10 milyar, yang berasal dari kantong Yayasan Damandiri, sebuah yayasan yang didirikan dirinya dan presiden kedua RI Soeharto, itu akan dihasilkan produk yang mampu memberkan pemasukan bagi masyarakat Cilongok --yang saat ini sebagian besar masih hidup jauh dari sejahtera.
Pengembangan Cilongok sebenarnya hanya salah satu program pengembangan desa yang dilakukan Bob Hasan. Sebelumnya, ia berhasil "mengubah nasib" masyarakat miskin lewat program pembangunan homestay di Selo, Kabupaten Boyolali, homestay Kemusuk di Bantul, dan homestay di sekitar kawasan Candi Prambanan.
Namun, Cilongok memang cukup istimewa bagi Bob Hasan. Setiap kali bercerita mengenai Cilongok, Bob Hasan seolah tak pernah "kehabisan napas". Bahkan, di saat ia sedang bertarung dengan kanker paru-paru dan kanker tulang yang menyerangnya sejak tiga bulan terakhir ini. "Kita harus bantu mereka (masyarakat Cilongok), karena dulu di masa awal revolusi mereka banyak membantu para pejuang saat bergerilya melawan Belanda," ujar Bob Hasan saat ditanya tentang mengapa ia begitu getol membantu masyarakat di Cilongok.
Pria bernama lengkap Mohamad Bob Hasan ini pernah sesekali ikut masuk hutan bersama sang ayah angkatnya, Jenderal Gatot Soebroto, di masa-masa awal kemerdekaan saat melawan Belanda. Laki-laki kelahiran 24 Februari 1931 itu kerap mendapat tugas untuk mencari logistik bagi pasukan yang sedang bergerilya. Wajah orientalnya memang memudahkannya untuk keluar-masuk kampung dan melewati penjagaan ketat Belanda.
Tak hanya itu, Bob Hasan juga sering mendapat tugas khusus dari sang ayah angkatnya. Ia pernah menjadi utusan Gatot untuk menemui Letkol Ventje Sumual dalam upaya meredakan pemberontakan PRRI/Permesta di Menado, Sulawesi Utara, pada 1958. Tapi, situasi saat itu masih panas, sehingga ia malah ditawan dan dimasukkan sebagai tahanan rumah. "Untung mereka tahu gue utusan Pak Gatot. Kalau utusan Nasution, pasti udah ditembak," kata Bob Hasan.
Kedekatannya dengan Gatot Soebroto ini pula yang kemudian membawanya dekat dengan lingkaran pimpinan TNI AD di masa itu. Di antaranya Jenderal Ahmad Yani dan, tentu saja, Jenderal Besar Soeharto. Ahmad Yani dan Soeharto sama sama pernah menjadi bawahan Gatot Soebroto di Teritorium IV/Diponegoro, Jawa Tengah. Pada masa itu pula, Bob Hasan mulai belajar bisnis.
Setelah Ahmad Yani diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Bob Hasan pernah "ditugaskan" untuk membantu Soeharto yang ditunjuk sebagai penguasa perang Teritorium IV/Diponegoro, cikal bakal Kodam Diponegoro. "Kamu bantulah Mas Harto di sana. Kalau perlu Senin sampai Jumat di Semarang, Sabtu dan Minggu balik di Jakarta," perintah Ahmad Yani.
Di Semarang, Soeharto pernah meminta Bob Hasan untuk membeli dan mengelola pabrik gula milik pengusaha Oei Tiong Ham, yang kebetulan berhenti produksi. Oei Tiong Ham adalah pemilik konglomerasi bisnis yang menguasai perdagangan di Asia saat itu. Pabrik gula berhenti berproduksi akibat tingginya biaya produksi. Sementara itu, pemerintah menetapkan harga eceran gula jauh di bawah biaya produksi. Banyak masyarakat yang bergantung hidup pada pabrik gula itu, menjadi kesulitan. Akibatnya, banyak yang mulai terpengaruh pada paham komunisme.
Sadar akan bahaya itu, Soeharto punya ide lain untuk menghidupkan kembali pabrik gula dan cara memasarkannya hasil produksi pabrik gula itu. Diam-diam, ia memerintahkan Bob Hasan untuk menjualnya ke pasar Singapura. Seluruh produksi gula ditukar dengan barang makanan dan obat obatan yang kemudian dijual kepada masyarakat. Hasilnya, selain untuk kesejahteraan prajurit, juga digunakan untuk modal Bank Yayasan Teritorium IV yang memberikan kredit tanpa bunga kepada petani.
Meski begitu, aktivitas "barter" ala Soeharto dan Bob Hasan ini ternyata akhirnya diketahui juga pemerintahan Soekarno. Keduanya dipersalahkan karena dianggap melanggar prinsip-prinsip perdagangan dan tidak tercatat dalam transaksi dagang pemerintah.
Soekarno menugaskan lima menteri, termasuk Jaksa Agung, ke Semarang untuk memeriksa apa yang dilakukan Soeharto. Belakangan, setelah mendapat penjelasan dan melihat kenyataan bahwa semua hasil perdagangan tersebut digunakan untuk prajurit dan memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa Tengah, pemerintah tak mempermasalahkan lagi. Namun, mereka melarang Soeharto untuk melakukan barter lagi.
Pengalaman berdagang di Singapura dan pengembangan usaha milik teritorium IV/Diponegoro itu memupuk kemampuan berbisnis sekaligus diplomasi Bob Hasan. Karena kelincahannya dalam berdiplomasi itu, ia juga sering mendapat tugas khusus dari Soeharto, saat telah diangkat menjadi Presiden RI. Dari operasi khusus bersama Benny Moerdani untuk menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia hingga menjadi utusan Soeharto dalam membantu Thailand menyelesaikan persoalan pemberontakan di Thailand Selatan.
Bob Hasan menjadi orang kepercayaan sekaligus tangan kanan Soeharto dalam banyak peristiwa penting di republik ini. Ia juga pernah menjadi anggota MPR dan kemudian terakhir, ditunjuk menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan di Kabinet Pembangunan VII.
Kedekatan Bob Hasan dengan Soeharto ini juga yang akhirnya membawa ia ke balik jeruji besi. Bob Hasan menjadi sasaran tembak orang orang yang tak suka dengan Soeharto. Ia sempat ditahan selama empat tahun di Rutan Salemba, Cipinang, hingga Lembaga Pemasyarakatan Batu di Nusakambangan. Bob Hasan dituduh melakukan korupsi dalam proyek pemetaan udara di Kementerian Kehutanan. Sebuah tuduhan yang belakangan dinyatakan tak terbukti, dan dengan dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung.
Kisah mengenai sepak terjang Bob Hasan ini memang sengaja kami angkat sebagai pengisi edisi khusus kali ini. Kepergian Bob Hasan pada Selasa, 31 Maret lalu, meninggalkan banyak kesedihan bagi banyak orang yang mengenalnya. Terutama di dunia olahraga.
Bob Hasan adalah Pembina dan Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia selama 41 tahun. Sebutan "Bapak Atletik Indonesia" pun disematkan pada dirinya yang mendedikasikan tak hanya waktu, tenaga, dan pikiran, melainkan juga uang bagi kemajuan atletik Indonesia. Ia adalah nadi atletik Indonesia.
Bagi Bob Hasan, selain karena kecintaanya, atletik adalah salah satu ladangnya untuk beramal, karena ia sadar bahwa atletik bukan olahraga yang digemari banyak orang, dan sebagian besar atletnya juga berasal dari keluarga yang tak mampu. Jiwa sosial Bob Hasan juga yang menggerakkannya selama puluhan tahun membina kalangan tunanetra lewat organisasi Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni).
Kini, Bob Hasan telah pergi. Tangan tuanya yang tanpa disadari digerogoti kanker tulang tak akan pernah mampu menggunting helaian pita peresmian proyek Cilongok. Kemeriahan acara peresmian pasti tak akan lagi lengkap sebagaimana dirancangnya. Yang tersisa hanyalah kenangan dan semangat untuk terus bisa membantu masyarakat kecil. Selamat jalan Pak Bob Hasan.
Hendri Firzani