Yogyakarta, Gatra.com – Sejumlah karya seni menghiasi Bandara Internasional Yogyakarta (BIY) di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah seniman ternama dan dua kelompok perajin dilibatkan.
Belasan ‘bidadari’ berwarna perak yang seakan luwes menari akan menyambut para penumpang pesawat yang melalui BIY. Jangan khawatir para bidadari ini akan terbang meski memiiki sayap besi dan kita kehilangan momen selfie dengan mereka.
Sebab, para bidadari akan berdiri 24 jam seiring aktivitas di bandara itu. Bidadari berupa patung-patung berbahan aluminium tersebut hasil karya Ichwan Noor berjudul ‘Bedhaya Kinjeng Wesi’, salah satu karya seni yang menghiasi BIY.
Gestur patung-patung menyimbolkan gerakan pesawat terbang, sesuai visualisasi gerakan tari baru bertajuk sama yang ditampilkan untuk menyambut bandara yang beroperasi penuh mulai Minggu (29/3) ini.
Namun, seperti halnya sejumlah penerbangan di BIY yang dibatalkan karena merebaknya Covid-19, karya 12 seniman dan dua kelompok perajin itu belum dapat diapresiasi publik secara luas.
Kurator Art Program BIY Bambang ‘Toko’ Witjaksono menjelaskan sebenarnya para seniman telah berencana menceritakan tiap karyanya ke publik jelang peresmian dimulainya BIY beroperasi penuh. Belakangan, agenda itu tetap berlangsung kendati tanpa seremoni.
“Akhirnya acara para seniman pun dibatalkan. Teman-teman seniman tentu saja sangat memaklumi kondisi saat ini akibat Covid-19,” ujar Bambang saat dihubungi Gatra.com, Rabu (1/4)
Menurut bambang, karya-karya di BIY dapat dinikmati dari dua aspek. “Harapannya, karya bisa dipahami tema dan narasinya, sehingga publik dapat tidak hanya melihat karya secara artistik,” ujarnya.
Selain ‘Bedhaya Kinjeng Wesi’, patung lain yang kini berdiri di BIY adalah patung ‘Hamemayu Hayuningrat’karya Wahyu Santosa. Patung perunggu setinggi 9 meter ini berwujud perempuan berbusana janggan Putri Yogyakarta, dengan bokor dan tusuk konde padi emas, sebagai simbol ibu pertiwi dan konsep keseimbangan alam.
Seniman Entang Wiharso membuat relief ‘Jogja on the Move’ sepanjang 20 meter yang mengisahkan perjalanan DIY. Adapun pop-up ‘Among Tani Dagang Layar’ sepanjang 15 meter karya Wedhar Riyadi menampilkan parade warga desa ke pasar tradisional.
Karya seni juga dibuat secara fungsional seperti ‘Among Bocah’ buatan Lutse Lambert Daniel Morin sebagai sarana bermain dalam bentuk pesawat capung dan ‘Tetanduran’ yang membungkus konstruksi kolom-kolom bandara karya I Made Widya Diputra.
Sejumlah karya relief dan pop-up juga diniatkan sebagai bentuk penghormatan untuk desa-desa yang tergusur menjadi area BIY, seperti Glagah, Kebonrejo, Palihan, Sindutan, dan Jangkaran, dengan menampikan kisah dan kekhasan desa-desa itu. Pengerjaannya melibatkan para perajin Kasongan di Bantul, dan Muntilan di Magelang, Jawa Tengah.
Bambang menyebut tema kurasi karya-karya ini adalah ‘Gandheng Renteng’. Hal ini terkait kesan orang-orang di bandara yang kadang merasa tidak nyaman karena akan bepergian atau baru datang dari perjalanan.
“Kesan yang baik pastinya yang kita harapkan. Kesan yang baik ini akan muncul dan terus mengena di hati setiap penumpang ketika mereka juga mendapat pengalaman yang mengesankan selama berada di bandara,” ujarnya.
Dalam kosakata bahasa Jawa, menurut Bambang, pertemuan dan kesinambungan itu disebut ‘gandheng renteng’, yang maknanya tidak dapat dipisah, melainkan menjadi satu kesatuan yang utuh.
“Demikian pula yang diharapkan dari tema kurasi ini, bahwa pertemuan dan kesinambungan merupakan sebuah kesatuan yang solid, yang akan diwujudkan dalam bentuk visual, baik dua dimensional maupun tiga dimensional,” katanya.