PM Boris Johnson dan sejumlah pejabat Inggris dinyatakan positif mengidap virus corona. Total kematian di Inggris sudah lebih dari 1.000 orang. Warga menilai pemerintah lamban merespons COVID-19 ini.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengungkapkan bahwa dirinya positif COVID-19. Ia menjadi pemimpin negara besar pertama yang positif mengidap virus corona. "Selama 24 jam terakhir, saya merasakan gejala-gejala ringan dan mendapat hasil tes positif virus corona. Saya sekarang mengisolasi diri sendiri, tetapi saya akan terus memimpin strategi pemerintah lewat konferensi video untuk melawan virus ini," kicau Johnson di Twitter pada Jumat, 27 Maret lalu.
Gejala yang dialaminya ringan, sedikit demam, dan batuk yang frekuentatif selama 24 jam. "Bersama kita bisa melawan virus ini. #StayHomeSaveLives," tulisnya.
Beberapa jam kemudian, Menteri Kesehatan (Menkes) Inggris, Matt Hancock, juga dinyatakan positif terinfeksi virus corona. Hancock menjadi pejabat kesehatan kedua di Inggris yang terpapar, setelah Menteri Kesehatan Junior, Nadine Dorries, dites positif pada awal Maret.
Dalam video yang diunggah ke Twitter, Hancock menjelaskan bahwa ia segera menjalani tes virus corona setelah mengalami gejala ringan. "Hasil tes saya positif. Jadi, saya akan menjalani isolasi diri hingga Kamis pekan depan," ucap Menkes berusia 41 tahun itu.
Masih di jajaran pejabat, ada Menteri Urusan Skotlandia, Alister Jack, yang juga sedang mengisolasi diri karena diketahui mengalami gejala ringan. Menurut Menteri Bisnis, Alok Sharma, status sejumlah pejabat yang positif COVID-19 itu tidak membawa kendala atas jalannya pemerintahan. Meski sedang mengisolasi diri, PM tetap memimpin rapat kabinet soal virus corona dari kantornya di 11 Downing Street pada Sabtu, esok harinya.
Johnson siap memperingatkan seluruh rumah tangga di Inggris bahwa penyebaran virus corona tampaknya akan makin memburuk. Ia menyatakan telah siap memperketat aturan lockdown di seluruh negeri, mengingat sejauh ini Inggris tercatat memiliki tingkat kematian tertinggi akibat COVID-19.
Seluruh 30 juta rumah tangga di Inggris akan menerima surat dari kantor PM. Isinya menjelaskan, kondisi yang lebih buruk masih mungkin terjadi tak lama lagi. Selain itu, diingatkan kembali seruan pemerintah terkait menjaga jarak (social distancing), rajin mencuci tangan, serta gejala penyakit ini. Seiring dengan itu, kabinet Johnson terus mempersiapkan kantor Layanan Kesehatan Nasional (National Health Service/NHS) untuk mengantisipasi kasus-kasus baru di masa mendatang.
"Sangat penting bagi saya untuk menekankan hal ini kepada kalian semua: kita tahu bahwa kondisi akan memburuk sebelum kemudian berubah menjadi lebih baik. Namun kami membuat persiapan-persiapan yang tepat. Makin kita semua mematuhi aturan, makin sedikit pula nyawa yang bisa hilang, serta akan makin cepat kondisi kembali normal," tulis Johnson dalam suratnya, seperti dikutip dari Guardian. Peringatan keras ini disampaikan agar Inggris bisa menjaga jumlah kematian di bawah 2.000 orang.
***
Hasil penelitian dari Imperial College London, memperkirakan Inggris bisa menderita 5.700 kematian. Jumlah ini lebih kecil dari dugaan sebelumnya. Dengan catatan, Inggris mengikuti langkah Cina yang ketat. "Ini bukan saatnya untuk berpuas diri," ucap Direktur Medis Nasional NHS Inggris, Stephen Powis.
Mantan Menteri Kesehatan, Jeremy Hunt, menulis di The Telegraph bahwa uji coba massal yang dilakukan Korea Selatan dan Jerman adalah cara tercepat untuk mengakhiri lockdown. "Restoran-restoran buka di Korea Selatan. Anda bisa berbelanja di Taiwan. Kantor-kantor di Singapura tetap beroperasi," tulis Hunt.
"Negara-negara ini telah belajar lewat cara yang sulit, bagaimana menghadapi suatu pandemi setelah berhadapan dengan virus SARS. Mereka sekarang menunjukkan kepada kita bagaimana kita bisa pulih setelah lockdown," Hunt melanjutkan.
Jerman telah melaksanakan tes empat kali lipat lebih banyak dari Inggris. Mereka mencatatkan angka kematian sebanyak 324 orang. "Saat kita menemukan virus itu, maka kita bisa mengisolasinya, dan menjaganya supaya tak menyebar," tulis Hunt.
"Dan ketika kita tidak menemukan virus itu, sejumlah layanan vital akan terus berjalan secara normal. Melalui tes massal, yang diiringi dengan pelacakan setiap orang yang bersinggungan dengan pasien COVID-19, maka kita bisa memecah rantai transmisi," Ia menambahkan.
Jumlah kasus virus corona terus meningkat di seluruh dunia. Sejauh ini, jumlah kasus bertambah 260 orang di Inggris pada akhir pekan lalu. Ada total 1.019 kematian sejauh ini (data per Minggu, 29 Maret 2020). Dengan demikian, ini merupakan kenaikan paling tinggi dan persentase peningkatan tertinggi sejak virus tersebut merebak di Inggris, 18 Maret lalu.
Pihak kepolisian menyatakan, mereka akan melakukan langkah tegas jika ditemukan ada orang dengan sengaja batuk di dekat orang tua atau orang yang rentan. Aparat memastikan bahwa semua orang akan segera mengetahui aturan terbaru ini.
Sebuah survei yang dibuat oleh The Observer, menunjukkan bahwa mayoritas warga Inggris menginginkan aturan yang lebih ketat untuk menekan penyebaran virus corona. Mereka melihat, pemerintah terlalu lamban merespons pandemi ini.
Sebanyak 57% publik menilai lockdown harus diberlakukan lebih luas. Adapun 33% suara menyatakan, penggunaan transportasi umum dilarang sepenuhnya. Mayoritas 56% menilai, pemerintah masih kurang sigap. Jumlah lebih besar lagi, sebanyak 92% mendukung lockdown dan keputusan-keputusan pemerintah untuk menangani krisis ini.
Sejauh ini, tes virus corona sedang dilakukan di kalangan staf NHS. Pemerintah berjanji sejumlah pusat tes akan dibuka dalam pekan-pekan ini. Di sisi lain, ada kekhawatiran soal jumlah ventilator dan kecepatan untuk mendapatkan tambahannya. Diketahui ada 8.000 ventilator yang tersebar di seluruh Inggris. Sejumlah 8.000 lainnya ditargetkan akan tiba dalam waktu tak lama lagi.
Kepala pabrik ventilator Drägerwerk yang berbasis di Jerman, Stefan Dräger, mengatakan bahwa tempat tidur ICU per kapita di Inggris lebih sedikit dibanding yang dipunyai Italia. Jumlah itu bahkan lima kali lebih sedikit daripada Jerman. "Tantangan di Inggris akan lebih besar daripada yang dihadapi Spanyol," ujarnya kepada majalah Der Spiegel.
Flora Libra Yanti