Palembang, Gatra.com – Rasanya yang sedikit asam, namun terdapat bau kacang, sayuran dan madu membuat kopi jenis ini memang sedikit berbeda. Di Desa Air Gading, Muara Padang Banyuasin, Sumatera Selatan, kopi yang disebut kopi laut sudah dikenal sejak lama.
Meski dinamai kopi laut, namun sebenarnya kopi ini ialah kopi yang hidup di kawasan rawa gambut atau dikenal sebutan rawang. Masyarakat asli menyebutnya sebagai kopi laut karena lahan (areal tanamnya) di daerah dataran rendah atau dikenal bergambut.
Semakin ditanam di areal gambut yang dalam, aroma kopi ini dirasa akan lebih terasa. Karena itulah, petani kopi Suratman menpertahankan membudidaya kopi laut yang berasal dari kawasan gambut sebagai mata pencahariannya selama ini.
Ditemui di kawasan kebun kopi, petani yang mengikuti program transmigrasi dari Pulau Jawa ini menceritakan jika kopi laut sempat ditanam dengan luasan lahan yang besar. Himpir 1.000 hektar (ha), luasan lahan kopi di awal tanam yakni sekitar tahun 1980an. Awalnya, masyarakat menanam kopi ini sebagai komoditas tanaman yang dikenalkan dalam program transmigrasi tersebut.
“Kopi-kopi yang ditanam di areal gambut ini sebenarnya sudah tua, sejak tahun 1982. Waktu itu, pemerintah alokasikan tanaman kopi, palawija, dan jagung sebagai komoditas yang ditanam di areal kebun transmigrasi,” ujarnya kepada Gatra, belum lama ini.
Berselangnya waktu, produksi kopi terus meningkat. Untuk satu areal lahan kopi bisa menghasilkan maksimal sekitar 5 ton/ ha/ tahun. Jumlah panen yang cukup bisa memenuhi kebutuhan masyarakat kala itu.
“Sayangnya, setelah lima tahun tanam, harga kopi ini jatuh. Sangat rendah dan masyarakat mengaku jika penghasilan kopi sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Lambat-laut, kopi mulai ditinggalkan petani,” ungkapnya.
Para petani memiliki mengalihfunsgikan lahan mereka ke tanaman yang sedang berharga tinggi kala itu, yakni sawit dan sedikit tanaman karet. Akhirnya, jumlah petani yang mengusahakan kopi makin sedikit.
Saat ini, jumlah petani kopi laut bisa dihitung pakai jari dan apabila digabungkan maka luasan lahannya hanya tinggal 15-20 ha. Pilihan alihfungsi yang besar-besaran dilakukan masyarakat desa yang terletak di kawasan perairan kabupaten Banyuasin tersebut. “Jika dahuu, 60-70% penduduk, bertani kopi dan sudah mandiri dalam memenuhi kebutuhan kopi untuk kebutuhan sehari-seharinya,” sambung dia.
Geliat bertanam kopi rawa kembali mucul setelah adanya proses pendampingan yang dilakukan Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui pendampingan program desa peduli gambut.
Diakui Suratman, ia dan beberapa petani yang masih semangat bertani kopi cukup banyak mendapatkan pendampingan, terutama dalam proses panen, pengemasan dan tata niaga kopi yang dikenal dengan jenis liberica tersebut. “Pada dua tahun belakangan, kopi ini makin dikenalkan lebih luas. Jika selama ini, kami hanya membungkusnya dalam kantong plastik dan dikemas seadanya, namun sekarang lebih modern. Bahkan, sudah bisa dikatakan kopi yang berkualitas bagus, BRG juga berencana mengedukasi pasca panen kepada petani,”ujarnya.
Mengubah tatanan bertanam kopi yang lebih baik memang tengah dilakukan oleh Suratman dan petani kopi lainnya. Jika selama ini, kopi yang dipanen secara petik seluruh mengakibatkan kualitas kopi belum maksimal. Pengetahuan agar panen kopi harus selektif dengan petik merah membuat kualitas kopi lebih baik. “Selama ini, pemasaran kopi hanya di Palembang sekitarnya. Sejak dikenalkan juga oleh pemerintah kabupaten, kopi ini pernah dibawa di luar negeri saat kunjungan kerja pak Bupati. Kopi ini makin dikenalkan, dan pemerintah kabupaten menginginkan kopi ini sebagai salah satu icon kuliner kabupaten,” terangnya.
Untuk produksi, ia mengatakan jika tanaman kopi gambut (liberica) lebih kontinyu. Meski bukan waktu panen, namun tanaman kopi bisa menghasilkan buah selang yang juga bisa menambah penghasilan petani. Kopi liberica asal Banyuasin ini dihargai sebesar Rp15.000/kg, namun untuk kualitas yang premium, bisa lebih dari harga tersebut. “Jika dibandingkan dengan Jambi yang juga memiliki produksi kopi dengan varian yang sama, maka harga kopi banyuasin memang lebih rendah. Karena itu, kami juga butuh dukungan pemerintah agar kualitas kopi laut ini menjadi lebih bagus dan bisa bersaing, sama dengan harga kopi tetangga tersebut,” ungkapnya.
Saat ini, Sutarman mengakui beberapa petani di desanya sudah ingin kembali bertanam kopi gambut, mengingat kesinambungan produksinya. Bertanam kopi gambut ialah upaya mengenalkan hasil bumi yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat desa. Pengelolaan kopi yang baik akan semakin meningkatkan ekonomi masyarakat.
“Selama ini ditinggalkan itu karena harganya jatuh, namun jika dikelola dengan pendampingan yang terus menerus oleh pemerintah. Mudah-mudahan, kopi laut ini kembali dikenal. Karena hanya satu-satunya, areal (kebun) di Banyuasin yang ditanam kopi gambut liberica ini,” pungkasnya.
Dukungan bertanam kopi juga diungkapkan Kepala Desa (Kades) Air Gading, Narto. Ia mengatakan, bersama dengan pemerintah kabupaten tengah mengupayakan desa tersebut menjadi desa eko wisata, baik karena kuliner khas kopinya juga terdapat gajah dan jenis satwa lainnya. “Kopi laut, sudah lama terkenal dan kami juga ingin mengenalkan kembali kopi ini sebagai icon desa,” ungkapnya.
Sementara itu, saat kunjungan ke desa, Bupati Banyuasin Askolani menjanjikan akan menjadikan kopi gambut ini sebagai ciri khas kabupaten untuk dikenalkan lebih luas sebagai komoditas warga desa..