Bisnis PLTU batubara Indonesia diprediksi tekor hingga Rp209,6 triliun akibat Covid-19. Laporan Boom and Bust 2020 menyebut tren perlambatan pembangunan PLTU batu bara akan terus berlanjut.
Jakarta, GatraReview.com - Akibat pandemi Covid-19, Global Energy Monitor (GEM) menaksir kerugian atas investasi 11 proyek PLTU di Indonesia yang bakal tertunda menembus USD13,1 miliar atau setara Rp209,6 triliun (asumsi kurs saat ini Rp16.000). Hasil tersebut didapat dari model perhitungan kerugian investasi dengan mengacu pada rerata capital costs yang dirangkum oleh IEA (International Energy Agency).
Perhitungan proyeksi kerugian itu akibat capital outlays karena adanya gangguan tenaga kerja dan rantai pasokan akibat pandemi global Covid-19 yang mengakibatkan keterlambatan maupun penundaan proyek PLTU. Keterlambatan ini menambah keterlambatan yang sudah terjadi di beberapa proyek. Prediksi di atas muncul bersamaan dengan dirilisnya laporan Boom and Bust 2020: Tracking The Global Coal Plant Pipeline yang kelima. Laporan yang disusun oleh sejumlah lembaga yaitu Global Energy Monitor, Greenpeace International, the Sierra Club, dan Centre for Research on Energy and Clean Air.
Laporan menunjukan terjadinya penurunan global kapasitas PLTU dalam status konstruksi (under construction) dan pembangunan pra-konstruksi (pre-construction development) sebesar 16% year-on-year, yang merupakan penurunan total sebesar 66% sejak 2015. Pada saat yang bersamaan, status permulaan konstruksi turun 5% dari 2018 dan 66% dari 2015, dibandingkan dengan 2019.
Meskipun terjadi penurunan dalam fase konstruksi, secara kapasitas netto PLTU batu bara tumbuh sebesar 34,1 gigawatt (GW) pada 2019 - data tersebut merupakan peningkatan pertama dalam penambahan kapasitas netto sejak 2015. Di mana, hampir dua pertiga atau sekitar 43,8 GW dari 68,3 GW kapasitas PLTU baru yang berada di China.
Namun, di luar China, kapasitas PLTU batu bara global secara keseluruhan mengalami penyusutan selama dua tahun berturut-turut. Hal ini diakibatkan oleh banyak negara yang telah menghentikan kapasitas PLTU batu bara-nya hingga 27,2 GW dibandingkan yang dioperasikan (commissioned) sebesar 24,5 GW.
"Secara global PLTU batu bara turun dan memecahkan rekor pada 2019 karena energi terbarukan tumbuh dan permintaan listrik melambat," kata Christine Shearer, penulis utama laporan dan Direktur Program Batu Bara GEM.
Risiko Bisnis Meningkat
Terlepas dari itu, tambahnya, jumlah PLTU baru yang ditambahkan ke jaringan kian dipercepat. Artinya PLTU batu bara dunia yang dioperasikan jauh lebih sedikit digunakan - lebih banyak pembangkit menghasilkan energi yang lebih kecil. Bagi bank dan investor yang terus melakukan penjaminan PLTU batu bara baru, situasi ini berarti akan berpotensi juga pada pelemahan profitabilitas dan peningkatan risiko bisnis.
Secara global, GEM mengidentifikasi sebanyak 14 PLTU batu bara yang berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara berpotensi mengalami kerugian investasi mencapai US$17,1 miliar. Perhitungan proyeksi kerugian itu akibat capital outlays karena adanya gangguan tenaga kerja dan rantai pasokan akibat pandemi global Covid-19 yang mengakibatkan keterlambatan maupun penundaan proyek PLTU. Keterlambatan ini menambah keterlambatan yang sudah terjadi di beberapa proyek.
Kondisi tersebut menunjukkan tingkat kerentanan tinggi dari ekspansi PLTU batu bara global akibat pandemi, yang di saat bersamaan kondisi kelebihan kapasitas (overcapacity) semakin menambah beban dalam menghadapi kondisi resesi. Rincian tentang dampak Covid-19 pada sektor batu bara dapat ditemukan di halaman wiki "Coal and Coronavirus." (https://www.gem.wiki/Coal_and_Coronavirus).
Ahmad Ashov Birry, Program Director Trend Asia sebuah lembaga yang berfokus pada advokasi energi transisi, mengatakan situasi darurat pandemi Covid-19 ini seharusnya membuka mata, hati dan akal pemerintah Indonesia untuk mulai mengutamakan keselamatan, kesehatan publik dan lingkungan dalam pembuatan pelbagai kebijakan termasuk di sektor energi. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan dengan mengambil langkah konkret membatalkan proyek-proyek pembangunan energi fosil kotor PLTU batu bara.
“Pembatalan proyek PLTU batu bara tersebut harus diambil tidak hanya untuk menghindari kerugian ekonomi jangka panjang, tapi utamanya untuk melindungi masyarakat dari tambahan paparan polusi beracun yang dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan,” tegas Ashov. Dalam situasi krisis multidimensi, lnajut dia, pemerintah seharusnya memperkuat ketahanan kesehatan masyarakat dan bukan membuatnya menjadi rentan.
Sementara menurut Adila Isfandiari, Periset Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menjelaskan dalam RUPTL 2019-2028 Pemerintah Indonesia berencana membangun PLTU batu bara baru sebesar 27 GW PLTU hingga sepuluh tahun mendatang. Kondisi ini, menurut Adila, sangat berlawanan dengan tren global sekarang, di mana pertambahan PLTU batu bara -baik yang sedang dibangun maupun dalam perencanaan- telah menurun sebesar dua pertiga dalam empat tahun terakhir.
“Salah satu PLTU batu bara baru yang akan dibangun dalam waktu dekat di Provinsi Banten adalah PLTU Jawa unit 9 dan 10 dengan kapasitas 2x1.000 MW. Proyek ini didanai oleh Korea Selatan yang ironisnya telah melarang pembangunan PLTU baru di dalam negeri mereka sendiri,” kata Adila.
Di sisi lain, menurut Adila, penambahan PLTU batu bara juga sangat bertentangan dengan komitmen menanggulangi krisis iklim. IPCC (Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim) telah mengharuskan pengurangan PLTU batu bara sebanyak 80% pada tahun 2030 untuk mencegah kenaikan temperatur di atas 1.50 C.
Penambahan 27 GW PLTU baru di Indonesia akan menghasilkan emisi sekitar 162 juta ton CO2 per tahun (atau setara dengan emisi dari 77 juta mobil per tahun). Sementara itu 28 GW PLTU eksisting di Indonesia telah menghasilkan emisi 168 juta ton CO2 per tahun. Masa operasi PLTU batu bara yang dapat mencapai 30 hingga 40 tahun itu membuat Indonesia akan terkunci oleh emisi GRK yang tinggi selama masa operasi PLTU tersebut.
"Rencana kelistrikan Indonesia bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Selain itu, penambahan PLTU batu bara baru perlu dipertimbangkan kembali oleh Pemerintah di tengah penurunan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik sebagai dampak dari Covid-19. Fakta bahwa reserve margin Jawa-Bali yang telah mencapai 30% pada tahun 2019, ditambah dengan banyaknya PLTU batu bara baru yang akan beroperasi berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi negara," imbuh Adila.
Pius Ginting, Kordinator Perkumpulan Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER), menjelaskan tren perlambatan pembangunan PLTU batu bara telah terjadi di Indonesia, seperti tersendatnya pembangunan PLTU Riau-1, Jawa-5, Sumsel-1. Menurut Pius, ini mencerminkan ketidakpastian bagi pembangunan proyek batu bara, di antaranya karena iklim korupsi. Pelemahan lembaga anti-korupsi, KPK, yang terjadi pada periode ke-dua Jokowi membuat agenda pemberantasan korupsi menjadi lemah dapat berkonsekuensi pada biaya listrik yang sebenarnya tidak mencerminkan internalisasi biaya lingkungan dan sosial namun karena korupsi.
“Di tengah situasi ini, pengawasan publik dan pelaku pasar menjadi dibutuhkan agar kelanggengan industri batu bara di Indonesia bukan terjadi karena state capture dan korupsi. Hal itu tentu saja merugikan publik Indonesia yang sudah merasakan dampak pemanasan global, seperti banjir akibat intensitas tinggi curah hujan yang menimpa Jakarta di awal tahun baru,” tegas Pius.
Sandika Prihatnala