Membangun sektor pertanian yang modern membutuhkan peran serta teknologi masif. Perlu mewaspadai tantangan dan skenario krisis pangan di tengah populasi manusia dunia yang semakin meningkat, perubahan iklim ekstrem, SDM yang terbatas.
Jakarta, GatraReview.com - Sebuah laporan dari ‘‘Asia Food Challenge’’ yang diterbitkan pada 2019, menggambarkan skenario krisis pangan yang diprediksi akan terjadi dalam 10 tahun ke depan. Negara-negara Asia dalam laporan itu disebut bakal kekurangan pangan, karena meningkatnya populasi di kawasan mereka. Meskipun tidak disebutkan secara spesifik, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk besar dan punya kebutuhan tinggi akan pangan tentu perlu waspada.
Lihat saja, tantangan yang dihadapi lumayan kompleks. Mulai dari ledakan jumlah penduduk yang tidak bisa diantisipasi, ketersediaan lahan pangan yang menipis, perubahan iklim ekstrem, produktivitas tanaman pangan yang menurun, SDM pertanian yang terbatas, hambatan regulasi, hingga masalah kesejahteraan petani. Semua itu perlu perhatian.
Pemerintah memang tidak berpangku tangan saja. Pada awal tahun 2020, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, akhir Januari lalu, memiliki misi penting dalam merumuskan strategi pembangunan pertanian. Di antaranya menetapkan target, subjek, dan metodologi yang akan dicapai.
Salah satu targetnya yakni meningkatkan produksi komoditas utama pertanian sebanyak 7% per tahun, gerakan tiga kali ekspor hingga 2024, dan serapan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sektor pertanian hingga Rp50 triliun per tahun. Kementan juga menargetkan tumbuhnya 7.879 UMKM pada 2024, serta menumbuhkan petani milenial berjiwa entrepreneur setidaknya 500.000 pemuda per tahun.
Target lain yang ingin dicapai adalah penurunan kejadian stunting alias pertumbuhan abnormal karena gizi buruk menjadi 14% di 2024, melalui program Family Farming serta Pertanian Masuk Sekolah (PMS), dan lebih menggiatkan lagi kerja sama dengan perguruan tinggi.
Kostratani Dimana Mana
Untuk mencapai target-target tersebut, Syahrul Yasin Limpo membentuk Komando Strategi Pembangunan Pertanian (Kostratani), yang bertujuan menjamin sinergi dan kesatuan gerak pembangunan pertanian di setiap lini agar fokus dengan sasaran.
Kostratani menjadi simpul koordinasi di tingkat kecamatan, yang bergerak dalam sistem berbasis digital. Dengan begitu, diharapkan keadaan di lapangan dapat termonitor dan dikendalikan pusat melalui Agriculture War Room (AWR) di Kementerian Pertanian (Kementan).
Adapun untuk mewujudkan pertanian yang maju, modern, dan mandiri. Ia meminta agar berbagai pihak turut berpartisipasi mencapai sasaran dan target itu. ‘‘Pengelolaan pertanian harus modern, dikelola dengan sistem dan manajemen terukur. Tidak boleh abai, karena mempertahankan jutaan perut orang Indonesia,’’ Syahrul menjelaskan.
Harus Paham Substansi
Ketua Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Agus Pakpahan, mengungkapkan bahwa Indonesia perlu belajar banyak dari negara Asia yang lain, seperti Jepang dan Korea. Melalui dua negara maju itu, mereka yang peduli terhadap pertanian perlu mencoba memahami, mengapa sektor pertanian Indonesia bisa dikatakan stagnan.
‘‘Maksud saya, sebelum kita masuk ke label seperti ekspor menjadi tiga kali lipat, kita coba dulu pahami substansinya,’’ kata Agus kepada Ryan Sara Pratiwi dari GATRA REVIEW, melalui sambungan telepon pada Senin, 10 Februari lalu. Korea, misalnya, dalam tempo 30 tahun sudah menjadi negara maju pada tahun 1996. Bahkan Jepang sudah lebih dulu. Intinya, Syahrul melanjutkan, walaupun pembangunan itu dipisahkan dalam pemikiran, konsepnya tetap terpadu.
‘‘Sebagai ilustrasi, setiap negara maju memiliki indikator. Indikatornya adalah persentase PDB pertanian di dalam PDB nasional berkurang. Kalau kita pakai pengalaman Jepang dan Korea, setiap 1% penurunan PDB pertanian dalam PDB nasional diikuti penurunan tenaga kerja pertanian lebih dari 2%,’’ Agus menjelaskan.
Walhasil ada hubungan sebab-akibat dan saling terkait yang harus diperhatikan. Proses industri dan jasa menyedot tenaga kerja pertanian, sehingga jumlah petani di pertanian secara persentase berkurang. Akibatnya, luas lahan per petani meningkat. Jadi, lanjut Agus, suatu saat pada 1965, seorang petani di Hokaido, Jepang, rata-rata memiliki lahan cuma 1 hektare. Saat ini luas lahan petani Jepang membengkak hingga lebih dari 20 hektare. Sementara itu, di Korea Selatan pada 1971 lahan tiap individu petani lebih sempit dibandingkan Indonesia, sekarang sudah mencapai 2 hektare per petani karena industrinya berjalan. ‘‘Seharusnya, kalau pemerintah membuat program, perlu ada indikator dan strateginya,’’ Agus menuturkan.
Kementerian Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan harus duduk bersama. Kemudian menetapkan, setiap penurunan 1% PDB pertanian bisa menyerap berapa tenaga kerja pertanian, agar luas lahan per petani meningkat. ‘‘Ikutilah koe?sien di Korea Selatan. Setiap penurunan PDB pertanian 1%, maka kurang-lebih atau lebih dari 2% tenaga kerja pedesaan -tenaga kerja pertanian-diserap oleh industri yang berbasis pertanian,’’ ujar Agus.
Selain itu, Agus melihat berbagai kendala. Kendala yang selama ini menghalangi harus dibuka terlebih dulu. Setelah itu, baru bisa disebut modernisasi pertanian. Menurutnya, tanpa ada kejelasan berapa persen tenaga kerja pertanian yang berkurang, lalu memasukkan teknologi, akan menyebabkan terjadinya kon?ik. Sebab, teknologi itu akan menggantikan tenaga kerja. ‘‘Mau dimodernisasi kayak gimana tidak berguna kalau industrinya tidak berjalan. Kita juga punya banyak pelajaran lain, yaitu industri hilir berbasis pertanian tidak berkembang kalau industri tidak berkembang,’’ ucap Agus.
Contoh yang paling konkret terjadi di sektor kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia sudah lebih luas dari Negara Korea Selatan. Korea Selatan itu paling banyak hampir 10 juta hektare. ‘‘Di kita sudah lebih dari 12 juta hektare, tetapi nilai yang didapat per hektare sangat rendah,’’ kata Agus. Ia menambahkan, pada 2018, nilai ekspor kelapa sawit lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor, serta pendapatan dalam dolar lewat tenaga kerja Indonesia dan turisme. Ia mengimbau agar industri berbasis pertanian dapat lebih dikembangkan.
‘‘Saya pikir, mari kita cari keunikan-keunikan Indonesia yang ada di daerah tropika yang memiliki potensi sangat besar yaitu untuk menurunkan bocornya devisa karena impor. Bayangkan, Cina dan India statusnya itu net eksportir food and agricultural product. Kalau Indonesia net importir food and agricultural product,’’ Agus menjelaskan.
Pergeseran Sektor Tenaga Kerja
Pertanian di satu sisi membutuhkan pemanfaatan teknologi masif agar lebih e?sien dan produktif. Di sisi lain, menyebabkan terjadinya kon?ik karena pasti kehadiran teknologi menggantikan tenaga manusia. Namun bagi Direktur Pengembangan Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Roostiawati, saat ini ada pergeseran tenaga kerja sektor pertanian yang cukup masif, terutama di kalangan kaum muda. Pemanfaatan teknologi pertanian menjadi salah satu alasan banyaknya minat pemuda untuk fokus bisnis di sektor tersebut.
Pemanfaatan teknologi yang dilakukan anak muda di sektor pertanian khususnya, dengan mendirikan perusahaan rintisan atau startup membawa dampak pada cepatnya proses pemasaran komoditas pertanian. Beberapa nama yang menurutnya menjalankan e?siensi pemasaran itu adalah brambang.com dan tomat.com.
‘‘Sekarang yang kita lihat misalnya di Kota Bogor dulu pertaniannya tidak begitu kuat, tetapi sekarang ada pergeseran anak-anak muda yang menyentuh digitalisasi di sektor pertanian untuk pemasarannya,’’ ujar Agus saat dihubungi Drean Muhyil Ihsan dari GATRA REVIEW, Kamis, 13 Februari lalu.
Sayang, masih ada problematika ketika para petani masih enggan menggunakan teknologi dalam proses pemasaran hasil pertanian. Untuk memaksimalkan pemanfaatan teknologi dalam proses pertanian, pihaknya menyediakan balai pelatihan pertanian. Di salah satu tempat pelatihan yang terletak di Lembang, Jawa Barat, tenaga kerja pertanian dilatih banyak hal, antara lain, cara pengairan dengan sistem digital serta cara-cara pengolahan proses pertanian secara organik.
Sementara itu, dia menyatakan, Kemenaker melalui Direktorat Jenderal Pelatihan, turut aktif melakukan koordinasi dan kerja sama dengan stakeholder yang berkaitan langsung dengan sektor ini, yaitu Kementerian Pertanian (Kementan). ‘‘Bagian ini rasanya yang banyak bekerjasama dengan Kementan,’’ kata Roostiawati.
Sandika Prihatnala