Jakarta, Gatra.com - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, perlemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa hari terakhir, berbeda dengan perlemahan yang pernah terjadi saat krisis global 1998 lalu. Sebab, pada saat krisis moneter dulu, nilai tukar rupiah mengalami perlemahan hampir delapan kali lipat, yang mana pada saat itu rupiah masih berada pada level Rp2.500 terhadap dolar Amerika Serikat.
"Mohon maaf, dibandingkan Rp16.000 sekarang, ingat Rp16.000 itu dari Rp2.500 ke Rp16.000 berarti berapa kali lipat? Hampir delapan kali lipat," ujar dia dalam video conference, di Jakarta, Kamis (25/3).
Sedangkan yang terjadi saat ini, rupiah hanya mengalami perlemahan sekitar 12 persen. Dari yang sebelumnya berada di level sekitar Rp13.800 menjadi sekitar Rp16.000 per dolar AS.
Baca juga: Corona Meluas, Rupiah Merosot ke Rp16 ribu per Dollar AS
"Memang lemah sekitar 12 persen, tapi jauh lebih kecil dr dulu juga 2008," imbuh Perry.
Dia menjelaskan, perlemahan nilai tukar rupiah disebabkan oleh kepanikan para investor di pasar uang akibat semakin meningkatnya korban wabah virus Corona. Hal itu lah yang mengakibatkan para investor melepaskan aset-asetnya, baik di pasar saham, surat berharga hingga obligasi dan kemudian menempatkannya ke aset yang lebih stabil seperti emas dan dolar.
Meski begitu, Perry memastikan nilai tukar rupiah saat ini telah kembali menguat. Tidak hanya itu, kepanikan para investor di pasar uang juga semakin berkurang karena intervensi yang dilakukan bank sentral berikut stimulus fiskal yang telah diguyurkan pemerintah.
"Ingat juga perbankan kita jauh lebih kuat, di dunia juga. CAR NPL sebelum covid 2,5 persen secara gross neto 1,3 persen. Dengan langah bank sentral melonggarakan likuiditas dan stimulus lainnya makanya sekarang kepanikan pasar global mereda. Bukan berakhir, tapi mereda dari kondisi minggu lalu atau sejak dua minggu terakhir," jelas dia.