Jakarta, Gatra.com – Banyak pakar dan ahli intelijen dunia meyakini penyebaran virus COVID 19 tidak terjadi secara kebetulan. COVID 19 diduga hasil dari konspirasi yang memuat skenario, skema, dan desain tertentu. Lebih jauh, tudingan ini justru dialamatkan kepada negara adidaya, Amerika Serikat (AS).
Pernyataan itu diperkuat oleh keterangan mantan pejabat intelijen militer dari Badan Intelijen Pusat (CIA) dan mantan spesialis ahli-terorisme Amerika Serikat, Philip Giraldi yang mengatakan virus COVID-19, tidak muncul secara alami melalui mutasi melainkan diproduksi di laboratorium.
Dalam pernyataan yang diterbitkan Strategic Culture Foundation (5/3/2020), ia mencurigai Amerika dan Israel terlibat dalam produksi virus tersebut sebagai agen perang biologis. Argumen Giraldi belum terbukti sahih. Namun banyak pakar dan pemerhati intelijen meyakini konspirasi ini.
Pengamat militer dan pertahanan, Wibisono mengatakan banyak analisa yang bermunculan mengatakan virus corona diciptakan oleh AS. Menurutnya dalam dunia telik sandi, kecurigaan terhadap kemunculan konspirasi terhadap peristiwa bukan hal yang baru. “Saya termasuk orang yang tidak pernah percaya dengan teori konspirasi, namun saya percaya politik penuh dengan konspirasi,” katanya kepada Gatra.com, Rabu (25/3).
Terlepas dari siapa aktor yang dimungkinkan dalam konspirasi tersebut, Wibi mengatakan perlu bagi para pakar menyimak asal dari kemunculan virus, apakah benar berasal dari Cina?. Menurutnya penting bagi para pakar untuk menyelidiki fakta ilmiah dari kasus COVID 19, dan tidak menggantungkan informasi pada satu literasi berita media saja.
Wibi menyebutkan agak aneh informasi yang menyebutkan virus corona berasal dari laboratorium Wuhan di Cina. Sampel lengkap dari virus menurutnya justru dimiliki oleh laboratorium AS. “Analisa saya, satu-satunya laboratorium yang punya sampel virus hidup dengan lima jenis GEN adalah Bio-Lab militer USA di Fort Detrick, Maryland. Itu sangat mungkin tercipta virus baru di situ. Sementara laboratorium Wuhan di Cina hanya punya satu sampel jenis virus, yang tak mungkin bisa melahirkan varietas jenis virus baru,” katanya.
Ia menyebutkan keterangan tersebut juga diperkuat dengan pernyataan para pakar yang ada di AS sendiri. “Saya membaca artikel yang ditulis oleh Daniel Lucey, seorang ahli penyakit menular di Universitas Georgetown di Washington. Ia mengatakan dalam sebuah artikel di majalah Science bahwa manusia terinfeksi pertama kali bukan di Wuhan tetapi di tempat lain. Tetapi ada juga yang bilang pada 18 september 2019, yang pasti bukan berasal dari pasar seafood di Wuhan,” ujarnya.
Makalah itu menurutnya juga diperkuat oleh peneliti Cina dari China Academy Science. Dalam artikel tersebut dituliskan rincian tentang 41 pasien pertama yang dirawat di rumah sakit. “Mereka positif terinfeksi apa yang disebut dengan Novel Corona Virus 2019 (2019-nCoV). Pertama kali, pasien jatuh sakit pada 1 Desember 2019 dan tidak memiliki hubungan dengan pasar seafood, data mereka juga menunjukkan bahwa secara total, 13 dari 41 kasus tidak pernah ke pasar seafood,” katanya.
Meski sebagian besar punya historis bepergian ke pasar seafood, tetapi itu menunjukan penyebaran virus terjadi sebelum bulan Desember 2019. Merujuk pada artikel Science, yang terbit 25 Januari 2020, Andersen memposting di situs web penelitian virologi tentang analisisnya terhadap 27 genom 2019-nCoV. Ia berkesimpulan kelahiran Covid 2019 itu pada tanggal 1 Oktober 2019. “Ada laporan dari Kristian Andersen, ahli biologi evolusi di Scripps Research Institute, yang telah menganalisis urutan 2019-nCoV untuk mencoba memperjelas asal muasal virus corona. Dia mengatakan skenario yang masuk akal adalah orang yang terinfeksi membawa virus ke pasar seafood. Jangan dibalik. Bukan seafood sebagai penyebar tetapi manusia,” ujarnya.
Dilihat dari sisi konspirasi, kejadian tersebut bertepatan saat acara World Military Games yang diadakan di Cina pada 18-27 Oktober lalu. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, dalam pernyataan kerasnya pertengahan Maret lalu, menuding virus corona di Wuhan merupakan kiriman dari militer AS.
Menurutnya dari sana dugaan awal penyebaran virus, kenyataannya pasien nol Covid 2019 yang berjumlah lima pasien adalah warga AS yang berada di Cina. “Setelah itu ada hari raya imlek dimana terjadi eksodus besar besaran orang kota ke desa untuk merayakan imlek di kampung halamannya. Kerumunan orang banyak tak bisa dihindari. Intelijen Cina cepat mengetahui akan serangan Covid 2019. Cina tidak mau ambil resiko terjadi penyebaran virus corona meluas. Apalagi di saat musim dingin. Dengan cepat pemerintah Cina lockdown kota Wuhan,” katanya.
Ia menambahkan varietas virus yang menyerang di Cina juga berbeda dengan kejadian yang ada di Iran dan Italia. “Hasil penelitian membuktikan bahwa varietas genom virus di Iran dan Italia, setelah diurutkan, ternyata tidak memiliki kesamaan dari varietas yang menginfeksi Cina. Artinya itu berasal dari tempat lain”.
Wibisono menyebutkan kemungkinan rentetan serangan senjata biologis itu juga terkait dengan motif ekonomi dan kelanjutan perang dagang. “Ini saya rasa bagian dari rangkaian perang dagang. Sejarah perang dunia kedua berawal dari perang dagang juga. Saling embargo satu sama lain. Akhirnya perang fisik tak terelakan. Kini mungkin orang enggak mau lagi perang fisik. Karena ongkosnya mahal. Tetapi dengan sains, orang bisa membunuh banyak orang tanpa ada kerusakan,akhirnya menggunakan rekayasa biologis,” pungkasnya.