Jakarta, Gatra.com - Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyebut, tes cepat atau rapid test menggunakan metode pemeriksaan antibodi. Yuri, sapaannya, menegaskan bahwa pemeriksaan itu untuk melihat antibodi orang yang diduga terkena Covid-19, bukan virusnya.
Yuri menjelaskan, jika untuk memeriksa virus maka pemeriksaan itu berbasis antigen. Sementara pemeriksaan rapid test caranya dengan swab dinding rongga hidung atau mulut.
"Tetapi kalau metode rapid test yang kita lakukan sebenarnya adalah screening, penapisan secara pendahaluan terhadap adanya kasus positif di masyarakat. Oleh karena itu, yang kita periksa untuk cara cepat ini adalah pemeriksaan antibodinya yang ada di dalam darah, sehingga spesimen yang diambil adalah darah bukan apusan tenggorokan. Diharapkan kita bisa menjaring, dengan kasar, secara cepat tentang keberadaan kasus positif," kata Yuri saat konferensi pers, Selasa (24/4).
Yuri menambahkan, untuk pemeriksaan antibodi, jika hasilnya negatif maka itu tak menjamin bahwa seseorang tidak terinfeksi virus. Menurutnya, orang itu bisa saja tetap terinfeksi namun masih di tahap awal. Sebab, pada tahap awal antibodi belum terbentuk.
"Dibutuhkan waktu 6-7 hari untuk terbentuknya antibodi yang bisa kita identifikasi sebagai positif dalam pemeriksaan rapid ini," terangnya.
Ia meminta orang yang diduga terpapar dengan hasil negatif itu harus mengulang pemeriksaan. Yuri menyebut standar pengulangan pemeriksaan dilakukan setelah 10 hari dari tes sebelumnya, dengan asumsi antibodi itu sudah terbentuk sehingga bisa diidentifikasi.
"Kalau hasilnya positif maka kita yakini sedang terinfeksi oleh virus. Kalau hasil negatifnya dua kali, kita meyakini tidak terinfeksi oleh virus tetapi juga dimaknai tidak ada antibodi dalam tubuhnya, artinya sangat mungkin bisa terinfeksi apabila kemudian mengabaikan upaya melakukan pencegahan terhadap penularan," paparnya.
Yuri menambahkan bahwa pemerintah telah memprioritaskan penggunaan alat tes rapid tersebut untuk dua golongan. Pertama, terhadap pihak yang dekat dengan kasus positif, yang sudah terkonfirmasi dan dirawat di RS atau kasus positif yang harus dilakukan isolasi.
"Maka bagian dari penelusuran terhadap kontak, keluarga yang tinggal serumah harus diperiksa. Kalau dalam perjalanan ternyata ada riwayat dia bekerja dan ada lingkungan kerja yang memiliki kontak dekat maka kita akan lakukan pemeriksaan di tempat kerja," ujarnya.
Prioritas kedua, lanjutnya, adalah semua tenaga kesehatan yang terkait dengan layanan terhadap pasien Covid-19. Menurut Yuri, pihak tersebut, bahkan hingga resepsionis atau front office rumah sakit, merupakan kelompok yang rentan terpapar.
Yuri menyebut, alat rapid test diberikan berdasarkan wilayah. Pemerintah saat ini masih mengumpulkan histori atau tracing kepada kelompok yang memiliki kerentanan tinggi itu.
"Kemudian kalau kit sudah cukup banyak maka kita lakukan basis kewilayahan. Sebagai contoh Jaksel sudah kami petakan. Pelaksanaan tes akan didesentralisasikan di semua fasilitas kesehatan di wilayah itu. Misalnya puskesmas dan lab daerah baik pemerintah atau swasta. Ini yang harus kita lakukan," pungkasnya.
Saat ini alat rapid test yang sudah distribusikan mencapai 125 ribu alat dan sudah didistribusikan di 34 provinsi. Nantinya, pemerintah provinsi yang akan menentukan sendiri pemeriksaan terhadap golongan yang rentan itu.