Meskipun tidak ada larangan, bergantung pada pasokan pangan impor bisa mengganggu kemandirian. Perlu komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan agar pangan lokal bisa dikembangkan sebagai alternatif pengganti bahan baku impor.
Jakarta, GatraReview.com - Sebagai negara yang dikenal ‘‘gemah ripah loh jinawi’’, sebuah semboyan bagi negara yang kaya sumber daya alamnya, Indonesia memang memiliki beragam produk hasil pangan. Ada beras, jagung, kedelai, dan sebagainya, yang mudah ditanam serta ditemui di berbagai daerah. Sayang, meski banyak pilihan bahan pangan, Indonesia juga masih tetap setia memilih skenario impor beras untuk menutupi kebutuhan.
Argumentasi era Menteri Pertanian Amran Sulaiman (2014-2019), impor diperlukan karena butuh cadangan guna menjaga stok dan menstabilkan harga bahan pangan di pasar. Ada sejumlah komoditas langganan yang biasa didatangkan dari luar. Di antaranya beras, gandum, gula, dan jagung.
Selain mengimpor komoditas pangan, Indonesia juga mengimpor beragam bahan makanan yang kemudian diolah kembali. Termasuk minuman olahan yang jumlahnya makin meningkat. Di sisi lain, langkah impor bukan berarti bermakna negatif. Pasalnya, sebagian bahan pangan impor akan diolah kembali menjadi menjadi produk makanan untuk ekspor, sebut saja gandum.
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), impor biji gandum dan meslin pada Januari sampai Oktober 2019 mencapai 9,16 juta ton dengan nilai US$2,43 miliar. Jumlah tersebut naik signi?kan dibandingkan dengan impor tahun lalu dalam periode waktu yang sama, yaitu 8,34 juta ton senilai US$2,43 miliar. Tren meningkat diduga seiring berkurangnya konsumsi nasi karena gaya hidup yang beralih ke roti, kue, dan sejenisnya.
Gandum juga menjadi bahan pembuatan mi instan. Makanan yang satu ini sangat populer, baik di dalam negeri, atau di luar negeri. Sudah rahasia umum bahwa produksi mi instan asal Indonesia merupakan komoditas ekspor yang cukup besar dan permintaan selalu meningkat. Di Nigeria misalnya, konsumsinya meningkat 3,4% pada 2018 menjadi 1,8 miliar bungkus. Padahal pada 2014, permintaan mi instan dari negara itu hanya 1,52 miliar bungkus saja.
Diversifikasi Pangan
Mengembangkan bahan pangan lokal sebagai pengganti pangan impor bisa menjadi solusi terbaik. Di satu sisi mengurangi ketergantungan, di sisi lain menghidupkan pemberdayaan petani melalui pengembangan komoditas alternatif. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) berkomitmen mengembangkan diversi?kasi pangan supaya masyarakat tertarik mengonsumsi makanan yang diolah dari pangan lokal.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan, Fadjri Djufri, mengatakan bahwa pangan lokal sangat layak ditingkatkan nilai tambahnya dengan cara mengolah dan mengemasnya untuk dipasarkan dengan segmentasi lebih luas. Pangan lokal dapat diolah serta dimanfaatkan menjadi produk langsung dan produk olahan, seperti tepung dan beras.
Adapun Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pascapanen) Kementan, terus melakukan riset dan inovasi terkait pengolahan pangan lokal. Hasil riset menunjukkan, pangan lokal memiliki nilai gizi lebih baik dari beras dan terigu.
‘‘Keunggulan semua pangan lokal baik. Jagung, sorgum, hanjeli, mayoritas kadar gulanya rendah. Jadi, penderita diabetes itu mau makan 2-3 kali lipat dari porsi normal makan nasi, enggak masalah. Kadar gulanya enggak bakal naik,’’ tutur peneliti utama di BB-Pascapanen Kementan, Sri Widowati, saat ditemui di Bogor pada Selasa, 11 Februari lalu, seperti dilaporkan Dwi Reka Barokah dari GATRA REVIEW.
Meski demikian, banyak peneliti menilai bahwa pangan lokal saat ini belum bisa menekan jumlah impor beras dan gandum. Konsumsi masyarakat terhadap pangan lokal masih minim. Masyarakat perlu diintervensi supaya mau mengonsumsi pangan lokal sebagai makanan seharihari. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, punya pendapat lain. Ia mengatakan, produk pangan indonesia punya kelemahan pada bahan baku. Di negeri yang kaya ini, hampir semua bahan pangan kalau mau dicari pasti ada. Sayang, harganya tidak kompetitif karena ine?siensi. Logistik mahal, karena sistem industri belum terbangun baik.
‘‘Indonesia, ya, hampir semua barang ada. Cuma enggak kompetitif, mahal. Makanya orang lebih seneng impor. Lebih murah,’’ ucap Bob kepada Qanita Azzahra dari GATRA REVIEW, Senin, 17 Februari lalu.
2020 Aman, Belum Perlu Impor
Terlepas dari hantaman penyebaran COVID-19, stok kebutuhan bahan pangan pokok Indonesia dirasa masih aman. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjamin ketersediaan bahan pokok aman hingga Maret-April mendatang. Sepuluh bahan pokok itu, antara lain beras, jagung, kedelai, daging sapi, daging ayam, telur ayam, bawang merah, minyak goreng, dan cabai. ‘
‘Secara umum semua baik dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan, Kementan, Bulog mengatakan, semua dalam kendali dan cukup aman,’’ ucap Syahrul di Jakarta, Desember lalu.
Dari komoditas itu, hanya daging sapi dan gula yang masih dianggap rawan, karena produksi dalam negeri masih belum memenuhi kebutuhan nasional. Meskipun Maret-April masih aman. Kemudian, pemerintah juga berencana melakukan ekspor beras 100.000 ton karena stok masih aman.
Berdasarkan data kerangka sampel area (KSA) dari Badan BPS dalam kurun Januari-November 2019, produksi gabah kering giling (GKG) diprediksi mencapai 51,29 juta ton atau 29,41 juta ton beras. Ada surplus beras 2,15 juta ton.
Sandika Prihatnala