Jakarta, Gatra.com - Status pandemik Corona Virus Disease (Covid)-19 mengganjal ketersediaan Antiretroviral (ARV), obat untuk HIV/AIDS di Tanah Air. Pasalnya, status pandemik ini membuat sejumlah penerbangan antarnegara dibatasi hingga ditutup untuk sementara.
"Pandemik Covid-19 telah membawa dampak ikutan yang harus segera ditanggulangi oleh pemerintah Indonesia," kata Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif LSM Indonesia AIDS Coalition, Jumat (20/2).
Aditya mengungkapkan, pembelian obat ARV yang kemarin sudah diputuskan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) guna menutupi krisis kekosongan obat ARV yang banyak terjadi di layanan di Indonesia, masih harus terhambat sulitnya penerbangan dari India guna mendatangkan obat yang rencananya sudah dibeli ini.
"Perlu diketahui, mayoritas obat ARV di Indonesia itu didatangkan dari India. Saat ini, melalui dana bantuan Global Fund, Kemenkes telah melakukan order pembelian obat ARV melalui tender internasional dan obatnya sudah siap di India," ungkapnya.
Namun sayangnya, lanjut Adtya, perusahaan penerbangan yang bisa digunakan untuk mengangkut obat ARV ini, membatalkan penerbangannya untuk dua pekan ke depan. Lebih parahnya, tidak ada jaminan bahwa setelah dua pekan maka layanan pengiriman ini bisa berjalan.
Menurut Aditya, opsi mengganti maskapai penerbangan untuk mengangkut obat HRV pun membutuhkan penyesuaian di antaranya mengubah dokumen impor yang sudah dikeluarkan agar obat tersebut tidak tertahan di Bea Cukai Bandara setelah sampai di Indonesia.
Bukan hanya itu, lanjut Aditya, untuk pembelian yang menggunakan dana APBN, prosesnya pun baru saja dimulai. LKPP masih belum mengumumkan siapa pemenang tender penyuplai obat ARV ini.
"Setelah proses pengumuman pemenang ini yang bisa diakses di website e-katalog, Kemenkes baru bisa melakukan order. Setelah pemenang ini ditetapkan, masih akan ada hambatan yang sama dikarenakan meski pemenangnya perusahaan lokal, tetap saja obat ini harus didatangkan secara impor dari India," ujarnya.
Menurut Aditya, Kemenkes harus memikirkan ekses dari Covid-19 terhadap ketersediaan obat esensial, misalnya semacam obat ARV. Ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenkes.
"Pertama, Kemenkes harus mengidentifikasi kebutuhan obat, baik untuk program penanggulangan AIDS nasional maupun suplai obat bagi masyarakat umum serta menghitung kecukupan stoknya yang ada saat ini," katanya.
Langkah kedua, lanjut Aditya, mengumpulkan segenap stakeholder terkait dengan tata niaga obat ini, baik dari sisi pemerintah maupun sektor privat (swasta), guna mendapatkan informasi mendalam serta memetakan potensi dampak dari Covid-19 terhadap kecukupan stok obat-obatan di Indonesia.
"Ini juga untuk memetakan mana obat-obatan yang bisa diproduksi secara mandiri di dalam negeri dan mana yang masih bergantung pada import dari negara lain," katanya.
Menurut Aditya, untuk obat-obatan yang stoknya minim dan masih harus didatangkan dari negara lain, Kemenkes harus memikirkan dan mengambil solusi cepat guna mendatangkan obat-obatan ini demi menjaga tingkat pasokan di dalam negeri.
"Langkah berikutnya yang perlu dilakukan, Kementerian Kesehatan harus mulai secara serius bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia untuk mempromosikan penggunaan obat yang rasional (Rationale Use of Medicines) guna menghemat stok obat yang masih tersedia saat ini di dalam negeri," ujarnya.
Pemerintah juga harus mengambil momentum ini guna secara lebih serius lagi mengevaluasi dan memperbaiki peta jalan (roadmap) bagi penguatan industri obat dalam negeri, sehingga mampu memutus ketergantungan impor bahan baku obat serta impor obat jadi dari negara lain.
"Pertanyaan besar sekarang, apakah pemerintah kita akan bertindak dengan sigap sehingga stok obat ARV bagi 140 ribu pasien ODHA dalam pengobatan ARV bisa mendapatkan obat?" katanya.