
Jakarta, Gatra.com – Kesan pemerintah kurang serius dan tanggap terhadap penanganan virus corona mulai bermunculan. Anggota Komisi I DPR, Sukamta mengatakan ada kesan pemerintah semula menganggap remeh persoalan corona kini malah kelabakan menghadapi kenyataan.
Sukamta menyayangkan belum terlihatnya skema yang jelas dalam penanganan wabah corona meski jumlah korban telah bermunculan. “Sampai hari ini pemerintah belum memiliki skema jelas dalam penanganan wabah corona. Kami mendapatkan informasi dari masyarakat di berbagai daerah banyak yang mengeluh, bingung dan semakin khawatir akibat tidak mendapatkan pelayanan secara aman dan meyakinkan ketika merasa ada indikasi terpapar virus COVID-19,” ucap legislator PKS itu.
Ia mengatakan ada temuan masyarakat yang ingin mengecek kondisi karena memiliki gejala dan riwayat kontak dengan suspect --bahkan positif corona-- ketika datang ke rumah sakit rujukan semakin bingung dan khawatir. Menurut laporan yang ia terima, penanganan pasien amburadul mulai dari ruang isolasi yang tersedia ternyata banyak ditemukan kurang layak seperti pasien yang memiliki indikasi COVID-19 disatukan dalam satu ruangan yang berisi 4-6 orang.
“Ruang isolasi sangat terbatas jumlah maupun fasilitasnya. Setelah dicek di lapangan banyak rumah sakit di berbagai daerah belum memiliki fasilitas memadai seperti negative pressure. Fasilitas yang dipergunakan untuk isolasi merupakan peninggalan dari kasus-kasus sebelumnya. Pemerintah pun sampai sekarang belum menyediakan anggaran untuk perlengkapan maupun penambahan ruang ruang yang diperlukan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Selasa (17/3).
Dirinya menambahkan sejak pengumuman kasus pertama, diikuti kasus berikutnya kerap membuat publik bingung. Ditemukan beberapa kasus yang berubah hasil, salah satunya pasien suspect asal Bekasi yang meninggal di Cianjur. Perubahan hasil tersebut menurut Sukamta terjadi akibat tidak tersedia standar Virus Transport Medium (VTM).
Padahal menurutnya persoalan manajemen sampel yang dikirim ke laboratorium merupakan hal krusial untuk menentukan status pasien. Jika manajemen tidak sesuai standar bisa mengakibatkan hasil negatif palsu yaitu hasil negatif namun kenyataannya positif COVID-19.
Selain persoalan VTM, jumlah kasus yang bertambah secara signifikan akan membutuhkan tambahan keberadaan laboratorium yang mampu memeriksa sampel dan memproses spesimen secara cepat dan akurat. Ia menyarankan agar pemerintah segera menambah laboratorium pengujian dengan melibatkan peneliti dan pakar yang ada di kampus dan perusahaan pengobatan.
“Walaupun pemerintah telah menambah lokasi pengujian sampel di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL) dan Universitas Airlangga, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute namun dua lab tersebut dirasa masih kurang. Harus penambahan alat dan sinergi dengan kampus dan perusahaan yang memiliki peralatan uji COVID-19,” saran doktor jebolan University of Manchester itu.
Ia menambahkan dalam penanganan wabah corona, negara juga harus menjamin keselamatan dari petugas medis dengan adanya prosedur standar dan dilengkapi peralatan memadai. “Jubir pemerintah mengatakan bahwa merupakan sebuah risiko yang harus ditanggung oleh tenaga medis ketika menangani pasien COVID-19. Pernyataan ini mungkin benar namun menjadi konyol dan seakan tidak peduli dengan jihad tenaga medis karena dilapangan alat perlindungan diri (APD) tidak tersedia secara memadai,” sanggahnya.
Anggota DPR RI Dapil Yogyakarta itu juga mengkritik langkah pemerintah yang masih saja membuka pintu masuk bagi Warga Negara Asing (WNA) dari negara yang terkena wabah COVID-19 secara berombongan. “Ini akan memperparah psikologis masyarakat dan menmbah pekerjaan penanganan kasus-kasus yang ada jika WNA yang masuk ternyata terinvekasi COVID-19!,” tegasnya.