Merembes kabar, penguasa kerajaan Arab Saudi menangkap anggota keluarganya sendiri. Dituding menyiapkan plot kudeta, tetapi ada yang menilai Putra Mahkota sedang memuluskan jalannya ke takhta.
Lebih dari setahun terakhir, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman (MBS), terlihat kurang agresif. MBS (34 tahun) memilih tenang sejak kasus pembunuhan Jamal Khashoggi, Oktober 2018. Peristiwa tersebut membuat banyak pemimpin Barat mengevaluasi kembali penilaiannya terhadap pemimpin muda ini.
Ada sejumlah pihak yang menduga MBS berubah. Namun sejak pekan lalu, dugaan itu bisa jadi keliru. MBS kembali pada sosok agresif, impulsif, dan tidak terprediksi, seperti menangkap pamannya sendiri atau menghancurkan harga minyak saat dunia terancam resesi akibat pandemi virus corona.
Dua tokoh senior yang ditahan, yakni adik kandung Raja Salman, Pangeran Ahmed bin Abdul Aziz (78 tahun), dan Pangeran Mohammed bin Nayef, sepupunya sekaligus orang yang menyerahkan posisi putra mahkota kepada MBS pada 2017.
Penangkapan itu tidak pernah diumumkan secara resmi. Sumber istana mengatakan, para pangeran senior itu sedang mempersiapkan kudeta. Ada juga yang menyebut Putra Mahkota hanya mengecam paman dan sepupunya karena berbicara kritis tentangnya. Ia ingin memberi pelajaran kepada seluruh anggota keluarga.
Namun banyak yang menilai penahanan itu sebenarnya upaya MBS untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Dimulai dengan menargetkan dua anggota keluarga kerajaan yang paling berpengaruh. Keduanya menjadi pusat kekuatan alternatif yang menolak MBS menjadi raja masa depan.
Pangeran Ahmed adalah penerus sah menjadi Raja Arab Saudi, sesuai dengan tradisi suksesi kerajaan itu, yakni takhta diturunkan antar-saudara laki-laki wangsa Saud. Pangeran Ahmed adalah putra pendiri kerajaan ini, Abdul Aziz bin Saud, yang tersisa.
Seorang mantan penasihat almarhum Raja Abdullah mengatakan kepada Al Jazeera, alasan utama di balik penumpasan itu adalah penolakan Pangeran Ahmed untuk berjanji setia kepada Pangeran MBS. "Setiap tahun, Raja Salman memanggil Pangeran Ahmed ke istana untuk meyakinkannya agar menerima kenaikan putranya ke atas takhta," katanya.
"Tetapi Ahmed menolak membaiat [sumpah setia] MBS. Ia bersikeras takhta seharusnya miliknya, seperti yang diinginkan ayah mereka," mantan penasihat itu menambahkan.
Sejak awal, Pangeran Ahmed menentang penunjukan MBS sebagai putra mahkota. Ia menjadi satu dari tiga anggota Dewan Kesetian (badan kerajaan yang mendukung garis suksesi) yang menentang penunjukan MBS sebagai putra mahkota, menggantikan sepupunya Mohammed bin Nayef pada 2017.
Sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara Sudairi (tujuh anak laki-laki Abdul Aziz dari istri bermarga Suairi) yang sangat berpengaruh, Pangeran Ahmed dianggap sebagai penerus yang sah atas takhta. Ia secara terbuka mengkritik kebijakan MBS, termasuk peran kerajaan di Yaman.
Menurut sumber itu, MBS menghitung, jika tidak naik takhta saat Trump berkuasa, peluangnya akan hilang. Apalagi usia ayahnya makin uzur dan kondisi kesehatannya terus memburuk.
***
"Pangeran Ahmed dipanggil dua kali ke dewan kerajaan dalam beberapa bulan terakhir, dalam upaya untuk memaksanya menerima kenaikan MBS ke atas takhta. Namun ia menolak," kata Ketua Movement for Reform in Arabia (Gerakan untuk Reformasi di Arab), Saad Al Faqih.
Aktivis yang dianggap pembangkang ini menambahkan, Pangeran Ahmed mungkin juga telah berbicara dengan anggota lain dari keluarga kerajaan, mendorong tindakan keras terbaru.
"Ahmed mungkin telah berbicara kepada keponakannya tentang penolakannya terhadap MBS sebagai raja, mengajak mereka untuk melakukan hal yang sama. Meskipun semua komunikasinya dipantau karena ia di bawah pengawasan MBS, percakapan ini mungkin dianggap oleh istana sebagai upaya kudeta atau sejumlah pengkhianatan," kata al-Faqih kepada Al Jazeera.
Saad al Faqih menafikan spekulasi kudeta. Katanya, tidak ada budaya kudeta di militer Arab Saudi. Justru, menurutnya, faktor Trump yang lebih berperan. "MBS khawatir jika Trump tidak memenangkan pemilihan tahun ini, dukungan padanya akan lebih sedikit karena selain Trump, pemerintah AS tidak mendukungnya," tuturnya.
Relasi kedua pemimpin itu sangat dekat. Bahkan setelah kasus pembunuhan Jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Konsulat Arab Saudi di Istanbul pada Oktober 2018, Trump bersumpah untuk tetap menjadi “mitra teguh” Arab Saudi.
Menurut mantan Perwira Intelijen AS, Glen Carl, jika pemerintahan AS berubah, pendekatan Washington D.C. terhadap Arab Saudi kemungkinan akan berubah juga. “Akan ada lebih banyak tekanan terbuka atau kemungkinan isolasi terhadap MBS dalam konstelasi internasional ... dan perubahan kebijakan untuk meredam beberapa aksi Arab Saudi,” ujarnya merujuk pada konflik regional, termasuk perang saudara di Yaman.
Faktor lain, yaitu kondisi kesehatan raja. Penahanan itu memicu rumor kesehatan raja berusia 84 tahun itu makin memburuk. "Setelah raja meninggal, MBS menjadi lebih sulit untuk naik takhta, karena yang lain bisa menolak dengan mengatakan suksesi yang berbeda dari tradisi," kata Carl.
Pangeran Ahmed dipandang oleh sebagian orang sebagai pewaris sah takhta, sedangkan Mohammed bin Nayef adalah pesaing kuat lainnya. Ia dianggap sebagai sekutu penting AS, tokoh yang disegani dalam "perang melawan teror", mantan menteri dalam negeri, dan putra mahkota.
"Nayef memiliki hubungan baik di Dinas Intelijen Inggris dan Amerika. Ia adalah kekuatan rival ... di mana tidak banyak struktur kekuatan lain di luar MBS," ujar Carl.
"Bagi AS dan Inggris, Nayef dianggap sebagai penerus terbaik untuk takhta ... terlihat dari kebijakan Arab Saudi yang bersahabat dengan AS dan Inggris selama menjabat sebagai putra mahkota," Carl menambahkan.
Menurut Ali Al-Ahmad, pakar politik Arab Saudi, Mohammed bin Nayef tidak hanya pesaing kuat untuk takhta, tetapi ia juga memiliki koneksi di dalam dan luar kerajaan. "Mungkin ada plot oleh Nayef untuk menyingkirkan MBS. Nayef adalah individu keamanan yang paling berpengalaman [di kerajaan] dengan sekutu yang kuat dan jaringan patronasi yang kokoh," ujarnya.
Rosyid