Home Gaya Hidup Resensi Bloodshot: Film Superhero Pertama Vin Diesel

Resensi Bloodshot: Film Superhero Pertama Vin Diesel

Jakarta, Gatra.com – Hadir satu lagi film adaptasi dari buku komik, Bloodshot. Karakter paling terkenal dari penerbit Valiant Comics tersebut aslinya terdiri dari tujuh seri. Meski ada banyak perbedaan karakter dengan cerita aslinya, namun premis utamanya sama: pria bertubuh besar yang disuntik dengan teknologi terkini hingga menjadi manusia super. Komik ini dibuat oleh Kevin VanHook, Don Perlin, dan Bob Layton.

Ray Garrison (Vin Diesel) adalah tentara di Angkatan Darat Amerika Serikat. Salah satu kebahagiaan terbesarnya ialah kembali dengan selamat dari medan perang, bercumbu dengan sang istri, Gina (Talulah Riley), sembari menikmati matahari tropis Italia Selatan. Namun semua berubah ketika istrinya dibunuh mati di depan matanya oleh pria tak dikenal, Martin Axe (Toby Kebbell). Belakangan, Ray juga ditembak mati oleh Martin.

Ilmuwan dari SRT, yang berkantor di Kuala Lumpur, Dr. Emil Harting (Guy Pearce) lantas menolong Ray. Ray ‘dibangkitkan’ dari kematian dengan cara disuntikkan sekumpulan nano-robot. Pasukan robot mini ini menyatu dalam aliran darah Ray dan membuat tubuh Ray bisa pulih dari segala macam luka fisik dalam waktu singkat.

Tak hanya pakar soal robot, Dr. Emil juga mengembangkan teknologi lain demi membuat bagian tubuh prostetis. Sejumlah mantan tentara yang telah dia tolong dan tergabung di timnya adalah Katie (Eiza Gonzalez), Jimmy Dalton (Sam Heughan), dan Barris Merc (Alex Anlos). Sang dokter dibantu oleh pakar IT, Eric (Siddharth Dhananjay).

Eiza Gonzalez dalam adegan film Bloodshot. (Dok. Sony Pictures/fly)

Belakangan, Ray menyadari dirinya adalah alat. Dr. Emil memanfaatkan kemampuan fisik Ray untuk kepentingan pribadinya.

Film ini adalah gabungan dari banyak kisah. Sebagian mengingatkan kita akan Frankenstein, yakni ilmuwan yang membangun ‘robot’ baru. Karena di sini ada sosok Guy Pearce, maka terlihat semacam alur Memento (Christopher Nolan, 2000) pula. Tentang seorang pria dengan ingatan jangka pendek, dan berupaya memecahkan misteri hidupnya. Sementara dari aspek pengaplikasian teknologi, Bloodshot jadi mirip The Matrix. Bedanya, di The Matrix seseorang harus masuk lewat jaringan, sementara di Bloodshot semua teknologi sudah tersedia langsung dalam tubuh Ray karena kemampuan kumpulan robot tersebut. Ray bisa otomatis mengunduh cara mengendalikan pesawat misalnya.

Meski demikian, akhir film ini tak memberi kejutan baru. Semua mudah diprediksi. Alhasil, filmnya tak begitu membekas. Cukup nikmati saja efek yang disajikan.

Bicara soal efek, sejak awal trailer dimunculkan, film ini menjadi menarik karena dominasi warna merah dan slow-motion. Sutradara Dave Wilson memang selama ini bekerja sebagai pembuat visual effects. Avengers: Age of Ultron (Joss Whedon, 2015) sampai sejumlah video games Star Wars sudah dia tangani. Bloodshot menjadi karya debut penyutradaraan dia.

Salah satu adegan film Bloodshot. (Dok. Sony Pictures/fly)

Ini juga menjadi film genre superhero pertama Vin Diesel di mana dia berperan sebagai tokoh utama. Sebelumnya dia hanya mengisi suara Groot dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Selain itu tentu saja dia dikenal dengan saga The Fast, sebagai Dominic Toretto.

Alih-alih bernama Ray, dalam versi komik, tokoh utamanya adalah pembunuh berdarah dingin bernama Angelo Mortalli. Nantinya Angelo akan membantu FBI dan masuk dalam program perlindungan saksi.

Dari total 80 juta komik yang terjual oleh Valiant Universe, sebanyak 7 juta diantaranya adalah Bloodshot. Seri #1 malah mendapat penghargaan “Komik Terbaik” dari distributor komik terbesar Amerika, Diamond Distributor.

Di Indonesia film ini telah tayang, lebih dulu dibandingkan di Amerika Serikat dan Inggris yang dijadwalkan tayang Jumat, 13 Maret 2020.

1052