Surabaya, Gatra.com - Omnibus Law masih mendapat penolakan. Kali ini, penolakan datang dari ribuan elemen buruh, mahasiswa, dan masyarakat miskin Jawa Timur di Surabaya.
Pantauan Gatra.com, ada ribuan massa dari GMNI, FSBI, KSPI, dan 37 organisasi serikat buruh yang lain yang tergabung dalam Gerakan Tolak (Getol) Omnibus Law. Mereka berkumpul, lalu berdemo dan berorasi di jalan Frontage Barat Ahmad Yani sejak pukul 13.00 WIB.
Mereka menyuarakan penolakan terhadap sejumlah pasal yang mengintervensi hak asasi para buruh dalam Omnibus Law, termasuk penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).
Koordinator Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan dan Aksi Getol, Dannis Seniar Yullea Paripurna mengatakan, salah satu pasal tersebut adalah definisi baru tentang cuti melahirkan dan haid. Aturan tersebut termaktub dalam Omnibus Law pasal 99 ayat 2.
"Padahal pada Undang-undang sebelumnya tidak mengatur terkait haid yang dimaknai sakit. Pasal 13 Undang-undang tahun 2003, haid itu dimaknai sebagai kodrat," kata Dannis di jalan Frontage Barat Ahmad Yani, Rabu (11/3).
Terkait sistem gaji pokok berdasarkan UMK yang dicurigai akan diganti dengan upah berdasarkan jam kerja, juga menjadi perhatian para buruh. Dannis menjelaskan, upah berdasarkan jam kerja tersebut sangat merugikan.
Bahkan, jika dibandingkan dengan sistem UMK yang pada realisasinya, banyak perusahaan tidak membayar gaji sesuai UMK. Hitung-hitungannya, buruh hanya akan mendapat upah sebesar Rp27 ribu per jam jika Omnibus Law itu lolos.
"Contoh, (tidak bekerja) kalau sakit, menjalankan ibadah sesuai agama, cuti melahirkan. Dengan (upah) hitungan jam, maka tidak akan dibayarkan (sesuai sistem gaji bulanan). Ini jelas merugikan," jelas Dannis.
Dannis menduga, bahwa aturan tersebut hanya akal-akalan saja. Ditambah, aturan tersebut juga akan membuka kesempatan bagi pihak perusahaan untuk berbuat curang.
Salah satunya, bisa saja pihak perusahaan mencoba mengurangi jam kerja pegawainya dengan cara apapaun. Contohnya, upah buruh hanya akan dibayar berdasarkan hitungan kerja selama 22 hari.
Padahal, sistem gaji membayarkan upah buruh berdasarkan durasi kerja selama satu bulan penuh dengan durasi 40 jam per harinya. Dannis menilai, buruh akan mendapat upah yang semakin sedikit ketimbang dengan sistem gaji meski nominalnya dibawah UMK.
Selain itu, lanjutnya, ada juga hal-hal lain dalam Omnibus Law yang dipandang sangat merugikan para buruh. Antara lain, mengurangi nilai atau nominal pesangon, fleksibilitas pasar kerja, penerapan sistem outsourcing, dan penghapusan jaminan sosial pekerja.
"Yang parah adalah penghilangan sanksi pidana kepada pengusaha. Karena sampai hari ini hanya 1 hingga 2 kasus secara nasional, pengusaha yang dipidana. Tapi bukan pemilik usahanya ya. Lebih kepada oknum HRD-nya," katanya.
Senada, Ketua Umum DPP FSKEP KSPI Sunandar mengatakan, pasal tentang Upah Minimum Propinsi (UMP) pada Omnibus Law adalah yang paling krusial. Menurutnya, buruh hanya akan mendapat gaji sebesar Rp1,7 juta jika UMP pada Omnibus Law benar-benar diterapkan.
"Sudah jelas menghilangkan prinsip jaminan pendapatan yang ini berbicara UMK akan dihilangkan dganti upah minimum provinsi dan upah kesepakatan. Upah kesepakatan kalau ditetapkan akan jadi persoalan yang tidak ada jaminan," kata Sunandar.
Dirinya juga menyoroti soal penghapusan jaminan sosial untuk pekerja. Menurutnya, tidak adil jika jaminan sosial dihapuskan bukan hanya untuk pekerja kontrak, tapi juga bagi pegawai tetap.
"Kemudian jaminan sosial tidak ada yang dapat jaminan ini karena rata-rata di dalam omnibus terkait tentang menjadi pekerja tetap tidak ada hanya pekerja kontrak," ucapnya.